Buku ajar Dasar Hortikultura

B U K U   A J A R


DASAR HORTIKULTURA

 

Oleh:

 

Ir. Pratignja Sunu, MP      NIP. 130814565

Ir. Wartoyo SP., MS.         NIP. 130786659

 

 

JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

S U R A K A R T A

2006


KATA  PENGANTAR


 

            Buku Dasar Hortikultura ini disusun dalam rangka mengembangkan Buku Ajar di Fakultas Pertanian khususnya Jurusan/Program Studi Agronomi untuk membantu mahasiswa dalam mengikuti kuliah agar lebih mudah dalam memahami materi yang diberikan dalam tatap muka dikelas. Dengan penyediaan buku ajar ini diharapkan selama tatap muka mahasiswa telah mempunyai bekal materi yang akan dibicarakan sehingga dalam kelas akan lebih banyak diskusi atau tanya jawab.

Buku Ajar mata kuliah Dasar Hortikultura ini dapat tersusun atas biaya dari Program Hibah Kompetisi A3, Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta pada Tahun Anggaran 2006.

Mata kuliah Dasar Hortikultura diberikan pada mahasiswa Jurusan/Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian UNS sebagai mata kuliah wajib dengan bobot sks: 2-1, juga kepada jurusan/program studi lain yang mengambilnya sebagai mata kuliah pilihan. Agar mahasiswa lebih mudah memahami materi kuliah ini, maka mahasiswa perlu mengambil mata kuliah Dasar Agronomi, Fisiologi Tanaman dan Ekologi terlebih dahulu., sedangkan untuk memperluas pengetahuannya mahasiswa perlu menelusuri buku/jurnal yang ditunjuk atau mengakses dari internet.

Setelah mempelajari buku ini diharapkan mahsiswa akan dapat memecahkan masalah umum yang terkait dengan budidaya tanaman hortikultura sejak penyiapan lahan, bahan tanaman, panen sampai ke pengelolaan hasil hortikultura, agar dapat sampai kekonsumen tetap pada kondisi yang prima.

Walau disadari bahwa buku ini masih jauh dari yang diharapkan karena keterbatasan penyusun, tetapi diharapkan buku ini ada manfaatnya bagi yang membutuhkannya, dan tidak lupa kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan buku ini.

Surakarta,   Agustus  2006

Penulis


DAFTAR ISI


 
Halaman Judul    ……………………………………………………………………………………………..

i

Kata Pengantar   …………………………………………………………………………………………….

ii

Daftar Isi   ……………………………………………………………………………………………………..

iii

Bab I Pendahuluan ………………………………………………………………………………

A.    Peranan Pembangunan Pertanian di Indonesia  ……………………………..

B.     Kebijakan Pembangunan Pertanian  ……………………………………………

Bab IIDefinisi dan Prospek Hortikultura …………………………………………….

A.    Definisi dan Pengertian Hortikultura  …………………………………………..

B.    Tantangan dan Peluang  ……………………………………………………………

C.    Pengelolaan Hortikultura yang berkelanjutan   ………………………………

D.    Peran Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Hortikultura …………….

Bab IIIFaktor Lingkungan pada Tanaman Hortikultura  ……………………….

A.   Radiasi Matahari …………………………………………………………………….

B.     Suhu  ……………………………………………………………………………………

C.     Tanah  ………………………………………………………………………………….

D.    Peran Unsur Hara bagi tanaman Hortikultura ……………………………….

Bab IVKemasakan dan Grading Buah dan Sayuran ……………………………..

A.    Grade  ………………………………………………………………………………….

B.     Kemasakan  ………………………………………………………………………….

Bab VPekarangan ………………………………………………………………………..

A.    Pengertian Pekarangan …………………………………………………………….

B.    Fungsi Pekarangan  …………………………………………………………………

C.    Faktor yang mempengaruhi bentuk, luas dan intensitas pekarangan ..

D.    Kemungkinan Pengembangan Pekarangan  ………………………………..

E.     Rangkuman  ………………………………………………………………………….

Bab VIProses Pasca Panen  ……………………………………………………………..

A.   Perubahan Fisiologi produk Hortikultura setelah Panen ………………….

B.    Respirasi  ………………………………………………………………………………

C.   Pengukuran Respirasi ………………………………………………………………

D.    Faktor yang mempengaruhi laju Respirasi  ………………………………….

Bab VIIKerusakan pada Produk Hortikultura ……………………………………

A.   Pendahuluan  …………………………………………………………………………

B.   Jenis Kerusakan pada Produk Hortikultura ………………………………….

C.    Faktor yang mempengaruhi Kerusakan Produk ……………………………

D.  Usaha untuk mengurangi kerusakan Produk Hortikultura dalam Simpanan 



BAB I.

PENDAHULUAN


A.     PERANAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA

Akibat krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997, jerih payah yang telah dibangun dalam pembangunan nasional selama lebih 30 tahun telah tersapu, sehingga memerosotkan kehidupan ekonomi. Hal ini telah menimbulkan permasalahan ekonomi yang berlarut-larut dan keresahan sosial yang berlanjut, seakan-akan menempatkan Indonesia ke awal  pembangunan. Harapan untuk pulihnya perekonomian nasional di masa mendatang masih terbuka lebar, karena Indonesia masih memiliki berbagai kekuatan fundamen ekonomi seperti sumberdaya alam, manusia, infrastruktur, kelembagaan yang ada, pengalaman mengatasi kesulitan, akan menjadi modal awal untuk membangun kembali perekonomian nasional. Salah satu strategi pembangunan ekonomi yang diyakini dapat diandalkan adalah melalui pembangunan pertanian / agribisnis (Bungaran Saragih, 1999).

Pembangunan Pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembangunan Nasional, yang dalam pelaksanaannya perlu adanya penyempurnaan atau reorientasi demi terwujudnya kemakmuran yang adil dan beradab. Oleh karena merupakan sektor yang keragaannya sangat mempengaruhi peri kehidupan penduduk Indonesia secara umum dan penduduk pedesaan secara khusus, maka reformasi di sektor pertanian harus dilakukan secara bertahap namun berkelanjutan, sehingga dampaknya tidak terjadi secara mendadak dan dalam skala besar yang justru dapat semakin memperburuk krisis ekonomi saat ini  (Soleh Solahuddin, 1999).

Reorientasi arah pembangunan pertanian tersebut pada dasarnya adalah keinginan untuk dapat menjawab tantangan-tantangan masa depan, yang pada hakekatnya dilandasi pada keinginan untuk menangkap signal-signal positif dari adanya perubahan-perubahan dalam lingkungan strategis baik berupa globalisasi   (informasi, teknologi)  maupun   kondisi-kondisi sumberdaya Nusantara, terutama di sektor pertanian (Dudung Abdul Adjid, 1994).

Perekonomian Indonesia tidak terlepas dari gejolak lingkungan strategis yang terus berkembang secara dinamis.  Awal dari PJPT  II ini ditandai dengan terjadinya arus Globalisasi yang mengakibatkan Pembangunan Nasional semakin terkait dengan perkembangnan dunia internasional antara lain dengan adanya persetujuan GATT (General Agreement on Tarrif and Trade) pada putaran Uruguay di Marakesh, bulan April 1994 yang bertujuan lebih meliberalisasikan perdagangan internasional dan pembentukan kawasan perdagangan bebas seperti PTE (Pasar Tunggal Eropa), NAFTA (North American Free Trade Area) dan AFTA (Asean Free Trade Area)  dengan penerapan  CEPT-nya akan melibatkan ekonomi Indonesia pada perdagangan global yang lebih kompetitif  (Dudung Abdul Adjid, 1994).

Akibat pengaruh globalisasi yang tidak mungkin dihindari ini makin lama produk pertanian khususnya produk hortikultura yang masuk ke Indonesia akan semakin beragam jenisnya dan volumenya akan semakin banyak.  Menghadapi realitas ini mau tidak mau produk Hortikultura harus mampu bersaing dengan produk Hortikultura dari negara  lain.

B.  KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM ERA REFORMASI

Pada era reformasi ini paradigma pembangunan pertanian harus semakin nyata berorientasi pada manusia, dimana petani diletakkan sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai peserta dalam mencapai tujuan nasional. Karena itu pengembangan kapasitas masyarakat guna mempercepat upaya memberdayakan ekonomi petani, merupakan inti dari upaya pembangunan pertanian/pedesaan. Upaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat pertanian menjadi mandiri dan mampu memperbaiki kehidupannya sendiri. Peran Pemerintah adalah sebagai stimulator dan fasilitator, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat petani dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

Berdasarkan pada paradigma tersebut maka visi pertanian memasuki abad 21 adalah pertanian modern, tangguh dan efisien. Selanjutnya dikemukakan oleh Soleh Solahudin (1999), bahwa untuk mewujudkan visi pertanian tersebut, misi pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani menuju suatu masyarakat tani yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan. Hal ini akan dapat dicapai melalui pembangunan pertanian dengan strategi

a)      Optimasi pemanfaatan sumber daya domestik (lahan, air, plasma nutfah, tenaga kerja, modal dan teknologi)

b)      Perluasan spektrum pembangunan pertanian melalui diversifikasi teknologi, sumber daya, produksi dan konsumsi

c)      Penerapan rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi secara dinamis, dan

d)      Peningkatan efisiensi sistem agribisnis untuk meningkatkan produksi pertanian dengan kandungan IPTEK dan berdaya saing tinggi, sehingga memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani dan masyarakat secara berimbang.

Salah satu langkah operasional strategis yang dilakukan dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas adalah Gerakan Mandiri (Gema) yang merupakan konsep langkah-langkah operasional pembangunan pertanian, dengan sasaran untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian petani dalam melaksanakan usaha taninya. Mulai TA 1998/1999 telah diluncurkan berbagai Gema Mandiri termasuk Gema Hortina  untuk peningkatan produksi hortikultura.

Gerakan Mandiri Hortikultura Tropika Nusantara menuju ketahanan hortikultura (Gema Hortina), dilaksanakan untuk mendorong laju peningkatan produksi hortikultura. Melalui gerakan ini komoditas hortikultura yang dikembangkan adalah sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat unggulan.

Komoditas yang diutamakan adalah yang bernilai ekonomi tinggi, mempunyai peluang pasar besar dan mempunyai potensi produksi tinggi serta mempunyai peluang pengembangan teknologi. Adapun upaya yang dilaksanakan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya hortikultura unggulan tersebut meliputi penumbuhan sentra agribisnis hortikultura dan pemantapan sentra hortikultura yang sudah ada (Soleh Solahuddin, 1999).

Komoditas unggulan yang mendapat prioritas adalah :

·        Sayuran : kentang, cabe merah, kubis, bawang merah, tomat dan jamur

·        Buah-buahan : pisang, mangga, jeruk, nenas dan manggis

·        Tanaman hias : anggrek

·        Tanaman obat : jahe dan kunyit.

DAFTAR PUSTAKA

Bungaran Saragih, 1999.  Sektor Agribisnis sebagai Tulang punggung Pembangunan  Ekonomi Indonesia.  Gerakan Terpadu Peduli Pertanian, Undip Semarang. 14 pp.

Dudung Abdul Adjid,  1993.  Kebijaksanaan Pengembangan Hortikultura di Indonesia dalam Pelita VI.  Seminar dan Konggres PERHORTI.  Malang 20-21 Nopember 1993.         13 pp.

————————-,  1994.  Pengembangan Agribisnis Hortikultura. Proc. Simp. Hort.             Nas., Malang.  p. 11 – 21.

Soleh Solahuddin,  1999.  Penajaman Strategi dan Kebijakan Pembangunan Pertanian Dalam Rangka Memperkokoh Sistem Pertanian Nasional. Gerakan Terpadu Peduli     Pertanian,  Undip Semarang. 21 pp.


BAB II.

DEFINISI DAN PROSPEK HORTIKULTURA


 

A.           DEFINISI DAN PENGERTIAN HORTIKULTURA

Hortikultura berasal dari kata “hortus” (= garden atau kebun) dan “colere” (= to cultivate atau budidaya). Secara harfiah istilah Hortikultura diartikan sebagai usaha membudidayakan tanaman buah-buahan, sayuran dan tanaman hias (Janick, 1972 ; Edmond et al., 1975). Sehingga Hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari budidaya buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Sedangkan dalam GBHN 1993-1998 selain buah-buahan, sayuran dan tanaman hias, yang termasuk dalam kelompok hortikultura adalah tanaman obat-obatan.

Ditinjau dari fungsinya tanaman hortikultura dapat memenuhi kebutuhan jasmani sebagai sumber vitamin, mineral dan protein (dari buah dan sayur), serta memenuhi kebutuhan rohani karena dapat memberikan rasa tenteram, ketenangan hidup dan estetika (dari tanaman hias/bunga).

Peranan hortikultura adalah : a). Memperbaiki gizi masyarakat, b) memperbesar devisa negara, c) memperluas kesempatan kerja, d) meningkatkan pendapatan petani, dan  e)pemenuhan kebutuhan keindahan dan kelestarian lingkungan. Namun dalam kita membahas masalah hortikultura perlu diperhatikan pula mengenai sifat khas dari hasil hortikultura, yaitu : a). Tidak dpat disimpan lama, b) perlu tempat lapang (voluminous), c) mudah rusak (perishable) dalam pengangkutan, d) melimpah/meruah pada suatu musim dan langka pada musim yang lain, dan e) fluktuasi harganya tajam (Notodimedjo, 1997). Dengan mengetahui manfaat serta sifat-sifatnya yang khas, dalam pengembangan hortikultura agar dapat berhasil dengan baik maka diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam terhadap permasalahan hortikultura tersebut.

Hortikultura adalah komoditas yang akan memiliki masa depan sangat cerah menilik dari keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya dalam pemulihan perekonomian Indonesia waktu mendatang. Oleh karenanya kita harus berani untuk memulai mengembangkannya pada saat ini. Seperti halnya negara-negara lain yang mengandalkan devisanya dari hasil hortikultura, antara lain Thailand dengan berbagai komoditas hortikultura yang serba  Bangkok, Belanda dengan bunga tulipnya, Nikaragua dengan pisangnya, bahkan Israel dari gurun pasirnya kini telah mengekspor apel, jeruk, anggur dan sebagainya.

Pengembangan hortikultura di Indonesia pada umumnya masih dalam skala perkebunan rakyat yang tumbuh dan dipelihara secara alami dan tradisional, sedangkan jenis komoditas hortikultura yang diusahakan masih terbatas. Apabila dilihat dari data selama Pelita V pengembangan hortikultura yang lebih ditekankan pada peningkatan keragaman komoditas telah menunjukkan hasil  yang cukup menggembirakan, yaitu pada periode 1988 – 1992 telah terjadi peningkatan produktivitas sayuran dari 3,3 ton/ha menjadi 7,7 ton/ha,  dan buah-buahan dari 7,5 ton/ha menjadi 9,9 ton/ha (Amrin Kahar, 1994).

Terjadinya peningkatan tersebut dapat dikatakan bahwa petani hortikultura merupakan petani yang responsif terhadap inovasi teknologi berupa : penerapan teknologi budidaya, penggunaan sarana produksi dan pemakaian benih/bibit yang bermutu. Tampak disini bahwa komoditas hortikultura memiliki potensi untuk menjadi salah satu pertumbuhan baru di sektor pertanian. Oleh karena itu dimasa mendatang perlu ditingkatkan lagi penanganannya terutama dalam menyongsong pasar bebas abad 21.

B.           TANTANGAN DAN PELUANG

Indonesia adalah negara tropis dengan wilayah cukup luas, dengan variasi agroklimat yang tinggi,  merupakan daerah yang potensial bagi pengembangan Hortikultura baik untuk tanaman dataran rendah maupun dataran tinggi. Variasi agroklimat ini juga menguntungkan bagi Indonesia, karena musim buah, sayur dan bunga dapat berlangsung sepanjang tahun.

Peluang pasar dalam negeri bagi komoditas hortikultura diharapkan akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta timbulnya kesadaran akan gizi di kalangan masyarakat. Peningkatan kebutuhan komoditas hortikultura ini juga ditunjang oleh perkembangan sektor industri pariwisata dan peningkatan ekspor. Apabila dilihat terhadap kebutuhan konsumsi buah dan sayuran, nampak bahwa kebutuhan masing-masing adalah 32,6 kg/kapita/tahun dan 32 kg/kapita/tahun, ternyata baru tercapai sekitar 21,1 kg/kapita/tahun dan 14 kg/kapita/tahun (Sunaryono, 1987, dalam Notodimedjo, 1997). Dari kenyataan tersebut tercermin adanya peluang dan tantangan yang harus kita hadapi.

Di era globalisasi ini, kita dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat, oleh karena itu kita harus mampu memanfaatkan keunggulan yang kita miliki, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif yang perlu ditingkatkan secara kualitatif. Globalisasi ini jelas akan menimbulkan peluang sekaligus ancaman bagi pembangunan pertanian dan perdagangan nasional di masa mendatang. Sukses tidaknya Indonesia dalam memanfaatkan peluang dan menghadapi ancaman akan ditentukan oleh kemampuan untuk mendayagunakan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada secara efisien, produktif dan efektif dalam rangka mewujudkan daya saing yang semakin meningkat dalam skala global atas barang dan jasa yang dihasilkan.

Menghadapi persaingan yang semakin tajam mutlak diperlukan daya saing yang tinggi. Oleh karena itu seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dan terlebih dunia usaha diharuskan mempersiapkan diri dengan langkah-langkah yang konkrit, sehingga mampu membangun suatu sistem ekonomi yang memiliki daya hidup dan berkembang secara mandiri serta mengakar pada struktur ekonomi dan struktur masyarakat Indonesia.

Kita perlu menyadari bahwa kita dikelilingi oleh negara-negara yang memiliki daya saing yang kuat, apabila kita tidak meningkatkan daya saing maka tidak akan mampu bersaing, bukan hanya di pasar luar negeri, tetapi juga di pasar dalam negeri sendiri, yang telah nampak pada kasus sekarang ini, seperti : beras, gula, buah-buahan dan lainnya.

Rendahnya daya saing sektor pertanian kita disebabkan oleh : sempitnya penguasaan lahan, tidak efisiennya usahatani, dan iklim usaha yang kurang kondusif serta ketergantungan pada alam masih tinggi.  Untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian ini tidak ada jalan lain, selain kerja keras masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pertanian, membuka areal pertanian baru yang dibagikan kepada petani-petani gurem/buruh tani, memperluas pengusahaan lahan oleh setiap keluarga tani dan menggunakan teknologi maju untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian (Siswono Yudohusodo, 1999).

Dengan adanya arus globalisasi, tidak mungkin dihindari semakin lama produk hortikultura yang masuk ke Indonesia dari negara-negara lain akan semakin beragam jenisnya dan volumenya semakin banyak. Menghadapi realitas ini mau tidak mau produk hortikultura harus bersaing dengan produk dari negara lain. Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut dengan tanpa mengesampingkan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai tentunya perlu dikaji berbagai permasalahan yang ada sehingga upaya pencapaian tujuan di atas dapat terlaksana dengan baik.

Permasalahan yang menonjol dalam upaya pengembangan hortikultura ialah produktivitas yang masih tergolong rendah, hal ini merupakan refleksi dari rangkaian berbagai faktor yang ada, antara lain : pola usahatani yang kecil, mutu bibit yang rendah yang ditunjang oleh keragaman jenis/varietas, serta rendahnya penerapan teknologi budidaya  (Dudung Abdul Adjid, 1993).

Selanjutnya Dudung Abdul Adjid (1993) menyatakan bahwa pada Pelita VI yang merupakan awal PJPT II ditandai dengan terjadinya arus globalisasi yang mengakibatkan pembangunan nasional semakin terkait dengan perkembangan dunia internasional antara lain dengan adanya putaran Uruguay (GATT) sehingga pasar Indonesia khususnya di bidang pertanian makin terbuka akan produk pertanian dari luar negeri. Kondisi ini selain mengandung berbagai kendala juga membuka peluang pasar internasional yang besar bagi produk pertanian yang sifatnya kompetitif.

Kondisi tersebut merupakan tantangan yang cukup berat bagi pengembangan hortikultura pada khususnya, karena dalam pengusahaannya dituntut untuk efisien, mampu meningkatkan dan menganekaragamkan hasil, meningkatkan mutu pengolahan hasil serta menunjang pembangunan wilayah. Oleh karena itu dalam pengembangan hortikultura tidak lagi hanya memperhatikan aspek produksi, tetapi lebih menitik beratkan pada pengembangan komoditi yang berorientasi pasar (agribisnis).

 

C.           PENGELOLAAN HORTIKULTURA YANG BERKELANJUTAN

Komoditas hortikultura selain menjadi salah satu komoditas andalan ekspor non migas, tanaman dan produk yang dihasilkannya banyak memberikan keuntungan bagi manusia dan lingkungan hidup. Buah-buahan dan sayuran yang dikonsumsi bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia; pohon buah-buahan, sayuran dan tanaman hias dapat berfungsi sebagai penyejuk, penyerap air hujan, peneduh dan penyerap CO2 atau pencemar udara lainnya; limbah tanamannya serta limbah buah atau sayuran dapat dipergunakan sebagai pupuk organik atau kompos yang dapat menyuburkan tanah, sedang keindahannya dapat dinikmati dan berpengaruh baik bagi kesehatan jiwa. Tetapi keuntungan-keuntungan tersebut menjadi berkurang manakala teknik budidaya yang dilaksanakan malah menimbulkan pencemaran, baik terhadap lingkungan hidup  maupun terhadap kesehatan manusia.

Dalam GBHN 1993 pembangunan pertanian hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, buah-buahan dan tanaman hias ditumbuh kembangkan menjadi agribisnis dalam rangka memanfaatkan peluang dan keunggulan komparatif berupa : iklim yang bervariasi, tanah yang subur, tenaga kerja yang banyak serta lahan yang tersedia. Produksi hortikultura diarahkan agar mampu mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri termasuk agroindustri serta memenuhi kebutuhan pasar luar negeri.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu penerapan sistem budidaya hortikultura yang lebih baik serta penggunaan teknologi yang tepat dan berwawasan lingkungan, yang sering dikenal dengan sistem GAP (Good Agricultural Practice). Sebagaimana kita ketahui sektor hortikultura baru mendapat perhatian setelah usaha swasembada beras tercapai, sehingga hasil-hasil penelitian yang dapat diterapkan untuk pengembangan hortikultura di Indonesia masih terbatas.

Teknologi yang saat ini diterapkan merupakan teknologi yang berorientasi pada pencapaian target produksi dengan menggunakan masukan produksi yang semakin meningkat, seperti bibit unggul, pupuk buatan, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Disamping hasil positif dengan peningkatan produksi, penggunaan masukan modern juga mendatangkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, antara lain adalah sebagai berikut :

·        Penggunaan pupuk buatan mendatangkan pencemaran pada air permukaan dan air tanah dengan adanya residu  nitrat dan fosfat, dan tanah menjadi semakin berkurang kesuburannya karena penggunaan pupuk berlebihan.

·        Penggunaan varietas unggul yang monogenik dan seragam secara spesial dan temporal mengurangi keanekaragaman hayati, dan hilangnya berbagai jenis tanaman asli.

·        Penggunaan pestisida yang berlebihan akan mengakibatkan resistensi, resurjensi hama, timbulnya hama sekunder, terbunuhnya binatang bukan sasaran dan residu racun pada buah dan sayuran serta lingkungan.

·        Selain itu kegiatan pertanian secara intensif juga berperan dalam proses pemanasan bumi atau efek rumah kaca dan penipisan lapisan ozon antara lain melalui emisi gas metan dan N2O akibat penggunaan pupuk buatan ( Kasumbogo Untung, 1994).

Dengan demikian usaha pencapaian sasaran produksi untuk memenuhi permintaan dan target dikhawatirkan akan semakin mengurangi sumber daya alam, mengurangi keaneka ragaman hayati dan meningkatkan pencemaran lingkungan.

Dewasa ini lingkungan yang dikaitkan dengan produk pertanian sedemikian kuatnya diluncurkan terutama di negara-negara maju, sehingga penduduknya menuntut agar produk pertanian bebas dari cemaran bahan kimia, dan mereka  mulai lebih suka mengkonsumsi produk yang dihasilkan melalui proses alami yang dikenal dengan pertanian organik (“organic farming”).

Pertanian organik merupakan salah satu alternatif budidaya pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang bebas dari segala bentuk bahan inorganik seperti pupuk buatan,  pestisida dan zat pengatur tumbuh.  Pertanian organik memadukan  berbagai cara seperti pergiliran tanaman, tumpangsari, penggunaan sisa bahan organik sebagai pupuk, serta pengendalian hama secara terpadu dengan mengoptimalkan cara biologis (Kasumbogo Untung, 1994). Kecenderungan seperti ini membuka suatu peluang baru dalam bisnis di bidang pertanian terutama tanaman hortikultura yang produknya sering dikonsumsi secara langsung atau dalam keadaan segar.

Selain itu ada alasan-alasan yang mendorong berkembangnya teknik bertani yang berwawasan lingkungan yaitu ratifikasi hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang dicantumkan dalam agenda 21, chapter 14, yang meminta agar setiap negara meninjau kembali berbagai kebijaksanaan pembangunan pertanian sayuran atau buah-buahan yang diproduksi secara konvensional. Dewasa ini banyak negara telah memberlakukan persyaratan akan “ecolabelling” atau “green product” terhadap produk pertanian yang akan diimpornya (Kasumbogo Untung, 1994), sehingga hal ini harus mulai direncanakan sejak dari sekarang apabila kita para pelaku hortikultura ingin mengembangkan Hortikultura dalam menghadapi Pasar Bebas pada abad 21 mendatang.

Selanjutnya dikemukakan oleh Kasumbogo Untung (1994), bahwa berbagai bentuk dan konsep pertanian berwawasan lingkungan banyak dihubungkan dengan perkembangan berbagai jenis praktek pertanian yang telah mulai banyak dilakukan pada tingkat petani, antara lain dengan istilah pertanian ekologi, pertanian biologi, ecofarming (Egger dan Martens, 1988), pertanian hemat energi, LISA (Low Input Sustainable Agriculture), serta pertanian alternatif (Vogtmann, 1988; NAS, 1990).

D.          PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Peran Perguruan Tinggi untuk ikut mensukseskan pengembangan Hortikultura perlu ditingkatkan melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu : Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Dalam pendidikan manusia yang bermutu, untuk memiliki sumber daya manusia yang berwatak membangun, bukan hanya pengetahuan semata yang perlu diajarkan, tetapi juga sikap hidup yang baik. Pendukung pembangunan masa depan  dengan makin majunya pengetahuan dan teknologi (industri), namun makin padatnya manusia Indonesia dan makin menciutnya sumber daya alam, menuntut kita makin peduli lingkungan, berarti harus lebih beradab dan santun, serta akrab dengan lingkungan. Bukannya angka produksi semata yang perlu kita raih, namun juga perlu diperhatikan mutu produknya.

Untuk mencapai hal tersebut, masyarakat Hortikultura  dituntut untuk peduli pada kehidupan subsisten di berbagai pelosok marginal, namun juga menyiapkan perkembangan ekonomi global yang menuntut sistem produksi hortikultura yang canggih dan efisien untuk meraih devisa yang memiliki daya saing internal maupun internasional. Untuk menjadi hortikulturis modern, pendidikan dasar secara konvensional dalam hal teknik bercocok tanam intensif masih perlu diketahui, tetapi inovasi teknologi (bioteknologi dalam penciptaan varietas, sistem hidroponik maupun organic farming dalam produksi, atmosfir terkendali dalam penanganan segar, cara-cara prosesing canggih) perlu diajarkan (Sri Setyati, 1994).

Melihat tantangan dan peluang di bidang hortikultura yang masih membentang luas, perlulah kiranya dipikirkan mengenai pendidikan bagi para pelaku hortikultura nantinya dengan kurikulum yang diharapkan mampu menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan sumberdaya dan fasilitas yang dimiliki. Dalam hal ini mencakup : level Sarjana S1; Diploma ataupun tingkat SLTA yang saling mendukung untuk mencapai pengembangan hortikultura di Indonesia. Pendidikan hortikultura harusnya disertai dengan mengembangkan inisiatif, serta menanamkan disiplin dan dedikasi yang tinggi.

Sri Setyati (1994) menyatakan bahwa perbaikan pendidikan hortikultura di level S1 diharapkan agar lulusannya menjadi : 1) Pengantar teknologi atau penyuluh hortikultura. 2). Pendidik hortikultura di tingkat Diploma atau SLTA. 3). Asisten Peneliti hortikultura yang tangguh.

Salah satu tujuan pengembangan hortikultura adalah peningkatan pendapatan petani yang dicapai melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Menurut Amrin Kahar (1994) upaya tersebut dapat dicapai antara lain melalui pemanfaatan IPTEK yang mencakup kegiatan :

·        Menghasilkan teknologi tepat guna sesuai dengan kebutuhan oleh para peneliti

·       Penyampaian teknologi yaitu menyampaikan dan mengembangkan teknologi yang dihasilkan peneliti melalui para penyuluh kepada para pengguna

·        Penggunaan teknologi, yaitu penerimaan dan adopsi teknologi oleh para petani.

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam pengembangan hortikultura ialah kualitas sumber daya manusia dari pelaku-pelaku yang berperan dalam pengembangan tersebut, yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikannya. Oleh karena itu salah satu faktor penting dalam upaya pengembangan hortikultura adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Petani sebagai mata rantai akhir dari suatu proses alih teknologi dan sebagai pengguna teknologi tentunya kualitasnya perlu ditingkatkan pula,  sehingga mereka dapat responsif terhadap informasi teknologi yang disampaikan. Mengingat keragaman karakteristik budaya, wilayah, sosial ekonomi dan komoditas yang dikembangkan petani, maka pola peningkatan kualitasnya perlu mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut. Pola pendidikan yang dianggap sesuai untuk diterapkan di tingkat petani adalah dalam bentuk Sekolah Lapang dengan sasaran para kelompok tani. Dengan porsi lapangan lebih besar dari pada teori dan sebagai obyek pembahasan adalah kondisi di wilayah mereka, maka pola ini dinilai sangat efektif dalam penyampaian informasi teknologi kepada petani (Amrin Kahar, 1994).

Puslitbang Hortikultura menekankan kegiatan dari program penelitian hortikultura dewasa ini mencakup beberapa bidang (Adhi Santika , 1994), yaitu :

1.            Bidang Penelitian Teknologi Pertanian meliputi :

a)      Rekayasa genetik dan perbaikan mutu bebrapa tanaman hortikultura

b)      Diversifikasi produk tanaman hortikultura

c)      Peningkatan efisiensi produk dan standar mutu

d)      Rekayasa, rancang bangun dan pengujian alat dan mesin pertanian termasuk konstruksi rumah kaca (Green House) dan pengendalian suhu, penanganan produk segar dan pengemasan hasil.

2.            Bidang Penelitian Sarana dan Prasarana meliputi :  Sistem produksi, penyimpanan dan distri- busi benih dan bibit hortikultura.

3.            Bidang Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan, meliputi :

a)      Pemanfaatan lahan marginal untuk pengembangan hortikultura

b)      Penggunaan pestisida secara bijaksana dalam pengendalian hama penyakit tanaman hortikultura.

c)      Konservasi, karakteristik, evaluasi dan pemanfaatan plasma nutfah.

4.            Bidang Penelitian Sunber Daya Manusia, meliputi : Pengkajian perilaku dan kinerja petani serta pedagang dalam menyelenggarakan usahatani hortikultura.

5.            Bidang Penelitian Kebijaksanaan dan Kelembagaan, meliputi :

a)      Pengkajian sistem insentif, investasi usahatani hortikultura

b)      Pengkajian masalah paten produk penelitian hortikultura

c)      Pengkajian pembinaan, pengawasan dan sertifikasi benih dan bibit hortikultura.

Adapun hasil-hasil penelitian dari Perguruan Tinggi yang telah dilaksanakan baik oleh mahasiswa maupun Staf  Pengajarnya, dapat diterapkan pada petani hortikultura di daerah sekitarnya sesuai dengan sumberdaya dan fasilitas yang dimiliki daerah tersebut untuk dikembangkan, sehingga nantinya mampu memberdayakan masyarakat tani hortikultura menjadi mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Adhi Santika, 1994.  Program Penelitian dan Pengembangan Hortikultura dalam Pelita VI.  Proc. Simp. Hort. Nas., Malang. P. 36 – 42.

Amrin Kahar, 1994. Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.       Proc. Simp. Hort. Nas., Malang. P.  54 -59.

Dudung Abdul Adjid,  1993.  Kebijaksanaan Pengembangan Hortikultura di Indonesia dalam Pelita VI.  Seminar dan Konggres PERHORTI.  Malang 20-21 Nopember 1993. 13 pp.

Edmond, J.B., T.L. Senn, F.S. Andrew and R.G. Halfacre,  1975.  Fundamentals of Horticulture.  Tata McGraw Hill Publ. Co. Ltd.  New Delhi.  560 pp.

Janick, J., 1972.  Horticultural Science.  W.H. Freeman and Co.  San Francisco.  586 pp.

Kasumbogo Untung,  1994.  Peranan Hortikultura dalam Perbaikan Lingkungan Hidup.  Proc. Simp. Hort. Nas., Malang.  P 22 – 25.

Notodimedjo, Soewarno. 1997. Strategi Pengembangan Hortikultura Khususnya  Buah-buahan dalam menyongsong  Era Pasar Bebas.  Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hortikultura, Fak.Pertanian Unibraw, Malang. 74 pp.

Siswono Yudohusodo,  1999. Upaya Pemberdayaan Petani sebagai Faktor Utama Program Pembangunan Nasional. Gerakan Terpadu Peduli Pertanian, Undip Semarang. 11 pp.

Sri Setyati Haryadi,  1994.  Perbaikan Pendidikan di Bidang Hortikultura. Proc. Simp. Hort.  Nas.,  Malang.  P 27 – 29.


BAB III

FAKTOR LINGKUNGAN PADA TANAMAN HORTIKULTURA 


Dalam budidaya tanaman hortikultura agar diperoleh hasil panenan yang memuaskan maka perlu memperhatikan faktor lingkungan tumbuh tanaman.  Hal ini identik dengan faktor luar dan faktor di sekitar tanaman, dimana faktor dalam tanaman mempunyai peranan juga dalam produktivitas tanaman hortikultura.  Faktor dalam pada tanaman yang dikendalikan oleh gen (DNA) disebut sebagai faktor keturunan (genetik).  Sifat yang menyusun tanaman yang diturunkan dikenal sebagai genotype, sedangkan phenotype merupakan sifat atau perilaku dari kenampakan total luar pada tanaman, dan biasanya diukur sebagai suatu hasil secara kuantitatif.  Contohnya varietas kobis yang tidak tahan terhadap udara panas krop-nya tidak dapat berkembang apabila ditanam di dataran rendah, sedangkan varietas kobis yang tahan panas seperti KK dan KY Cross baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, krop-nya dapat berkembang.

Genotype suatu varietas tanaman menentukan kemampuan menghasilkan, adaptasi regional, ketahanan terhadap hama/penyakit dan mutu.  Sedangkan lingkungan dapat menyebabkan sifat-sifat yang beragam dari suatu tanaman hortikultura.  Contoh : suatu varietas yang mempunyai kemampuan menghasilkan tinggi tetapi jika kebutuhan air dan hara tidak terpenuhi serta gulma tidak dikendalikan, maka varietas itu tidak dapat memberikan hasil yang tinggi.

Interaksi antara genotype dan lingkungan ( G x E ) dapat bersifat positif atau negatif.  Dikatakan positif apabila tanaman itu mampu menghasilkan denngan baik, dan sebaliknya apabila tidak dapat memberikan hasil baik adalah interaksi negatif.  Untuk menentukan interaksi tersebut (positif atau negatif), suatu varietas tanaman hortikultura sebelum disebarkan ke petani hendaknya diadakan pengujian terlebih dahulu pada daerah setempat.

Pelaku hortikultura hendaknya mengetahui keadaan lingkungan setempat dimana mereka mengusahakan tanaman hortikultura.  Dalam hal ini petani harus mengetahui tentang hama/penyakit penting yang dapat menyerang, gulma, kondisi tanah maupun iklim yang dapat membatasi pencapaian produksi maksimum dari tanaman yang diusahakan.  Beberapa komponen faktor lingkungan yang penting dalam menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman di antaranya adalah : radiasi matahari, suhu, tanah, air.

 

 A.           Radiasi Matahari.

Radiasi matahari merupakan faktor utama diantara faktor iklim yang lain, tidak hanya sebagai sumber energi primer tetapi karena pengaruhnya terhadap keadaan faktor-faktor yang lain seperti : suhu, kelembaban dan angin.

Respon tanaman terhadap radiasi matahari pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu : intensitas, kualitas dan fotoperiodisitas.  Ketiga aspek ini mempunyai pengaruh yang berbeda satu dengan yang lainnya, demikian juga keadaannya di alam, sehingga untuk jelasnya akan diuraikan secara terpisah.

1.     Intensitas Cahaya.

Intensitas cahaya adalah banyaknya energi yang diterima oleh suatu tanaman per satuan luas dan per satuan waktu (kal/cm2/hari).  Pengertian intensitas disini sudah termasuk didalamnya lama penyinaran, yaitu lama matahari bersinar dalam satu hari, karena satuan waktunya menggunakan hari.

Besarnya intensitas cahaya  yang diterima oleh tanaman tidak sama utuk setiap tempat dan waktu, karena tergantung :

a.      Jarak antara matahari dan bumi, misalnya pada pagi dan sore hari intensitasnya lebih rendah dari  pada siang hari karena jarak matahari lebih jauh. Juga di daerah sub tropis, intensitasnya lebih rendah dibanding daerah tropis. Demikian pula di puncak gunung intensitasnya (1,75 g.kal/cm2/menit) lebih tinggi dari pada di dataran rendah (di atas permukaan laut = 1,50 g.kal /cm2/menit).

b.     Tergantung pada musim, misalnya pada musim hujan intensitasnya lebih rendah karena radiasi matahari yang jatuh sebagian diserap awan, sedangkan pada musim kemarau pada umumnya sedikit awan sehingga intensitasnya lebih tinggi.

c.      Letak geografis, sebagai contoh daerah di lereng gunung sebelah utara/selatan berbeda dengan lereng sebelah timur/barat.  Pada daerah tanaman menerima sinar matahari lebih sedikit dari pada sebelah utara/selatan karena lama penyinarannya lebih pendek disebabkan terhalang oleh gunung.  Bahkan lereng sebelah barat dan timur itu sendiri juga sering terdapat perbedaan  terutama pada musim hujan.  Hal ini disebabkan karena musim hujan biasanya banyak sore hari sehingga lebih banyak awan dibanding pagi hari, akibatnya lereng sebelah barat yang baru meneroma sinar matahari sore hari akan mendapatkan radiasi dengan intensitas yang sangat rendah.

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman sejauh mana berhubungan erat dengan proses fotosintesis.  Dalam proses ini energi cahaya diperlukan untuk berlangsungnya penyatuan CO2 dan air untuk membentuk karbohidrat.  Semakin besar juml;ah energi yang tersedia akan memperbesar jumlah hasil fotosintesis sampai dengan optimum (maksimum). Untuk menghasilkan berat kering yang maksimal, tanaman memerlukan intensitas cahaya penuh.  Namun demikian intensitas cahaya yang sampai pada permukaan kanopi tanaman sangat bervariasi, hal ini merupakan salah satu sebab potensi produksi tanaman aktual belum diketahui. Besarnya kuat cahaya yang mengenai bidang sasaran ada yang menyatakan dengan satuan foot candle  (ft-c)  dari Inggris.  Ft-c menggambarkan kuat penyinaran yang dipancarkan oleh satu lilin standar yang mengenai permukaan bidang sasaran seluas 1 square foot (= 928,088 cm2) pada radius penyinaran 12 inchi (= 30,48 cm).  Dalam praktik sehari-hari cahaya bulan diperkirakan mempunyai kuat cahaya 0,05 ft-c, sinar untuk membaca besarnya 20 ft-c, sedangkan untuk proses fotosintesis minimal antara 100-200 ft-c.

Penelitian pada tanaman tomat di Michigan, USA menunjukkan bahwa persentase berat basah, berat kering dan produksinya mempunyai korelasi yang erat dengan intensitas radiasi matahari.  Hasil percobaannya tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 1 :  Pengaruh Intensitas Cahaya pada Tanaman Tomat.

Perlakuan

Jumlah cahaya yg diterima (%)

Rata2 intensitas harian (foot candle)

Produksi

buah

(Pound)

Kandungan hijau daun

Efisiensi

Tanaman menerima cahaya MH penuh

100

1140

65

Tinggi

Tinggi

Tanaman yg dilindungi satu lapis kain tipis

50

583

51

Agak tinggi

Cukup tinggi

Tanaman di bawah 2 lapis kain tipis

25

261

32

Rendah

Rendah

Penelitian lain tentang hubungan antara intensitas cahaya dengan keaktifan fotosintesa, leaf area dan pertumbuhan tanaman dilukiskan dalam gambar 1 sebagai berikut.

Dalam menyesuaikan berkurangnya intensitas  cahaya (tanaman terlindung), tanaman Mung bean (kacang hijau) menunjukkan menurunnya keaktifan fotosintesis (NAR) tetapi tanaman ini tumbuh denngan menghasilkan daun yang lebih baik, sehingga menaikkan leaf area (LAR). Bertambahnya permukaan daun ini mengimbangi menurunnya NAR pada cahaya yang rendah, sehingga RGR dalam kenyataannya tidak terpengaruh (Monsai et al., 1962). Karena pengaruhnya terhadap berkurangnya fotosintesis, imntensitas cahaya pada umumnya menjadi faktor pembatas pada pertumbuhan tanaman di rumah kaca dan hot bed selama musim dingin.

Gambar 1: Hubungan antara intensitas cahaya dengan keaktifan fotosintesa, leaf area dan  pertumbuhan tanaman Mung bean.

2.     Kualitas Cahaya

Cahaya matahari yang sampai pada tajuk atau kanopi tanaman tidak semuanya dapat dimanfaatkan, sebagian dari cahaya tersebut diserap, sebagian ditransmisikan, atau bahkan dipantulkan kembali.  Kualitas cahaya matahari ditentukan oleh proporsi relatif panjang gelombangnya, selain itu kualitas cahaya tidak selalu konstan namun bervariasi dari musim ke musim, lokasi geografis serta perubahan komposisi udara di atmosfer.

Pengertian cahaya berkaitan dengan radiasi yang terlihat (visible) oleh mata, dan hanya sebagian kecil saja yang diterima dari radiasi total matahari.  Radiasi matahari terbagi dua, yaitu yang bergelombang panjang (long wave radiation) dan yang bergelombang pendek (short wave radiation).  Batas terakhir dari radiasi gelombang pendek adalah radiasi ultraviolet, sedangkan batas akhir radiasi gelombang panjang adalah sinar inframerah. Radiasi dengan panjang gelombang antara 400 hingga 700 um adalah yang digunakan untuk proses fotosintesis.Ukuran panjang gelombang  masing-masing radian tersebut terdapat pada gambar 2.

Gambar 2.  Panjang gelombang radiasi matahari

Cahaya matahari yang sampai ke bumi hanya sebagian saja, selebihnya cahaya tersebut tersaring oleh beberapa komponen atmosfer atau dipantulkan kembali ke angkasa luar. Cahaya matahari gelombang pendek tersaring dan diserap oleh lapisan ozon (O3) di atmosfer, sedangkan cahaya gelombang panjang tersaring oleh uap air di udara, cahaya gelombang panjang lainnya dipecahkan/dipencarkan dan dipantulkan oleh awan dan lapisan debu di atas permukaan bumi.

Pengaruh kualitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah banyak diselidiki, dimana diketahui bahwa spektrum yang nampak (visible) diperlukan untuk pertumbuhan tanaman.  Apabila tanaman ditumbuhkan pada cahaya biru saja daunnya akan berkembang secara normal, namun batangnya akan menunjukkan tanda-tanda terhambat pertumbuhannya.  Apabila tanaman ditumbuhkan pada cahaya kuning saja, cabang-cabangnya akan berkembang tinggi dan kurus dengan buku (internode) yang panjang dan daunnya kecil-kecil.  Dari penelitian tersebut telah membuktikan bahwa cahaya biru dan merah memegang peranan penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis.

 

3.     Fotoperiodisitas

Fotoperiodisitas atau panjang hari didefinisikan sebagai panjang atau lamanya siang hari dihitung mulai dari matahari terbit sampai terbenam ditambah lamanya keadaan remang-remang (selang waktu sebelum matahari terbit atau setelah matahari terbenam pada saat matahari berada pada posisi 60 di bawah cakrawala).  Panjang hari tidak terpengaruh oleh keadaan awan seperti pada lama penyinaran yang bisa berkurang bila matahari tertutup awan, sedang panjang hari tetap.

Panjang hari berubah beraturan sepanjang tahun sesuai dengan deklinasi matahari dan berbeda pada setiap tempat menurut garis lintang.  Pada daerah equator panjang hari sekitar 12 jam per harinya, semakin jauh dari equator panjang hari dapat lebih atau kurang sesuai dengan pergerakan matahari.  Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin lama tanaman mendapatkan pencahayaan matahari, semakin intensif proses fotosintesis, sehingga hasil akan tinggi.  Akan tetapi fenomena ini tidak sepenuhnya benar karena beberapa tanaman memerlukan lama penyinaran yang berbeda untuk mendorong fase pembungaan.  Fotoperiodisitas tidak hanya berpengaruh terhadap jumlah makanan yang dihasilkan oleh suatu tanaman, tetapi juga menentukan waktu pembungaan pada banyak tanaman.

Berdasarkan respon tanaman terhadap panjang hari (fotoperiodisme) maka tanaman dapat digolongkan menjadi tiga kelompok : a) Golongan tanaman hari panjang (long day plants), b) Tanaman hari pendek (short day plants) dan c). Tanaman hari netral (neutral day plants).

Disamping itu dikenal pula panjang hari kritis yaitu panjang hari maksimum (untuk tanaman hari pendek) dan minimum (untuk tanaman hari panjang) dimana inisiasi pembungaan masih terjadi.  Panjang hari kritis berbeda-beda menurut jenis tanaman dan bahkan varietas.

Apabila tanaman hari pendek ditumbuhkan pada hari panjang, akan menghasilkan banyak karbohidrat dan protein yang digunakan untuk perkembangan batang dan daun.  Oleh karenanya tanaman hari pendek yang ditumbuhkan pada hari panjang secara ekstrim akan tumbuh vegetatif, tidak mampu membentuk bunga dan buah.  Sebaliknya apabila tanaman hari panjang ditumbuhkan pada hari pendek akan menghasilkan sedikit karbohidrat dan protein sehingga pertumbuhan vegetatifnya lemah dan tidak berbunga.

Respon tanaman terhadap panjang hari sering dihubungkan dengan pembungaan, namun sebenarnya banyak aspek pertumbuhan tanaman yang dipengaruhinya, antara lain : (a) Inisiasi bunga, (b) Produksi dan kesuburan putik dan tepungsari, misalnya pada jagung dan kedelai, ( c ) Pembentukan umbi pada tanaman kentang, bawang putih dan ubi-ubian yang lain, (d) Dormansi benih, terutama biji gulma dan perkecambahan biji pada tanaman bunga, dan (e) Pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, seperti pembentukan anakan, percabangan dan pertumbuhan memanjang.

Beberapa contoh tanaman hari panjang, hari pendek dan hari netral dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2 : Tanaman hari panjang, hari pendek dan hari netral

Kelompok

Tnm hari pendek

Tnm hari panjang

Tnm hari netral

Sayuran kentang, ketela rambat kacang-kacangan bayam, lobak, selada tomat, lombok, okra
Buah strawberry strawberry
Bunga chrysanthemum, Cosmos bouvardia, Stevia poinsetia China aster, gardenia, delphinium Carnation, dianthus, Violet cyclamon

 

Di Indonesia panjang hari tidak banyak berbeda dari bulan ke bulan selama satu tahun, perbedaan hari terpanjang dan terpendek hanya 50 menit.  Semakin jauh dari equator perbedaan panjang hari akan semakin besar. Dengan demikian pengaruh panjang hari terhadap tanaman juga jarang ditemui di daerah tropika.

Pengetahuan tentang panjang hari ini sangant penting bila akan mengadakan introduksi suatu varietas baru dari luar negeri, atau pemilihan varietas yang cocok untuk suatu daerah, dan   bagi pemulia tanaman dalam upaya mendapatklan varietas baru yang tahan terhadap panjang hari (tanaman hari netral).

B.           Suhu.

Sumber panas di bumi adalah dari matahari yang suhunya pada permukaannya diperkirakan sebesar 6.000oC, dan energi yang dikeluarkan dari sinar matahari dipancarkan ke seluruh arah dengan kekuatan yang konstan.  Jumlah panas yang diterima oleh bumi dan atmosfer hanya sekitar 4 per sepuluh juta dari total energi yang dipancarkan.  Sebagian energi sinar matahari berupa gelombang pendek.  Sinar matahari yang mengenai atmosfer bumi sebanyak 10% adalah gelombang sinar ultra violet, 40% gelombang sinar yang dapat dilihat (visible), sedangkan sisanya 50% berupa gelombang sinar infra merah.

Energi yang dipancarkan oleh sinar matahari tidak langsung diterima oleh permukaan bumi, tetapi beberapa di antaranya dipantulkan atau dialihkan melalui beberapa media serapan.  Pada lapisan atmosfer yang menyerap gelombang sinar ultra violet adalah laipsan ozon dan gas oksigen.  Dua jenis lapisan gas tersebut sangat berguna bagi tanaman, hewan dan manusia karena melindungi kehidupan di bumi yang tidak kuat terhadap penyinaran sinar ultra violet.

Pengertian suhu mencakup dua aspek, yaitu : derajat dan insolasi. Insolasi menunjukkan energi panas dari matahari dengan satuan gram/kalori/cm2/jam, mirip dengan pengertian intensitas pada radiasi matahari.  Satu gram kalori adalah sejumlah energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu gram air sebesar 10C.

Jumlah insolasi atau suhu suatu daerah tergantung pada : a). Letak lintang (Latitude) suatu daerah.  Di katulistiwa insolasi lebih besar dan sedikit bervariasi dibandingkan dengan sub-tropis dan daerah sedang.  Dengan semakin bertambahnya latitude insolasi semakin kecil, karena sudut jatuh radiasi matahri semakin besar atau jarak antara matahari dan permukaan bumi semakin jauh.  Akan tetapi insolasi total untuk satu musim pertumbuhan tanaman hampir sama karena panjang hari yang lebih lama;  b) Altitude (tinggi tempat dari permukaan laut) : semakin tinggi altitude insolasi semakin rendah, setiap naik 100 m suhu turun 0,60C ;  c). Musim berpengaruh terhadap insolasi dalam kaitannya dengan kelembaban udara dan keadaan awan;  d). Angin juga sering berpengaruh terhadap insolasi, apalagi bila angin tersebut membawa uap panas.

Selain keragaman atar daerah, suhu juga bervariasi berdasarkan waktu, baik suhu udara maupun suhu tanah (pagi-siang-sore).

Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman dikenal sebagi suhu kardinal yaitu meliputi suhu optimum (pada kondisi ini tanaman dapat tumbuh baik), suhu minimum (pada suhu di bawahnya tanaman tidak dapat tumbuh), serta suhu maksimum (pada suhu yang lebih tinggi tanaman tidak dapat tumbuh).  Suhu kardinal untuk setiap jenis tanaman memang bervariasi satu dengan lainnya.

Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibedakan sebagai berikut : (1) Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan (2) Batas suhu yang tidak membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Ad. (1). Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman diketahui sebagai batas suhu optimum.  Pada batas ini semua proses dasar seperti : fotosintesis, respirasi, penyerapan air, transpirasi, pembelahan sel, perpanjangan sel dan perubahan fungsi sel akan berlangsung baik dan tentu saja akan diperoleh produksi tanaman yang tertinggi. Batas suhu optimum tidak sama untuk semua tanaman, sebagai contoh : apel, kentang, sugar-beet menghendaki suhu yang lebih rendah dibandingkan : tanaman jeruk, ketela rambat atau gardenia.

Berdasarkan hal ini tanaman hortikultura dikelompokkan sebagai berikut :

a.      Tanaman yang menghendaki batas suhu optimum yang rendah (tanaman musim dingin), yaitu tanaman yang tumbuh baik pada suhu antara : 450 – 600F.

b.     Tanaman yang menghendaki batas suhu optimum yang tinggi (tanaman musim panas), yaitu tanaman yang tumbuh baik pada suhu antara : 600– 750F.

Dari type tanaman tersebut di atas maka dapat dilihat contoh-contoh tanamannya pada tabel berikut :

Tabel 3 : Klasifikasi tanaman hortikultura berdasarkan suhu yang dikehendaki.

Tanaman musim dingin (Optimum suhu : 450-600F)

Tanaman Buah-buahan

Tanaman Sayuran

Tanaman Bunga & Hias

Apel, pear, cherry, plum, strawberry, grape, blackberry, raspberry Asparagus, spinach, lectuce, kobis, beet, wortel, arcis (pea), kentang

Carnation, geranium, petunia, zennia, pansy

Tanaman musim panas (Optimum suhu : 60 0– 750 F)

Peach, apricot, citrus, olive, fig, persimon, grapeTomat, lombok, terong, ketimun, semangka, waluh, cantaloupe, beans (kacang-kacangan)

Rose, poinsettia, gardenia, euphorbia, amaryllis, orchid

Ad (2).  Batas suhu yang tidak menguntungkan dikelompokkan sebagai berikut :

a.      Suhu di atas optimum : tanaman yang tumbuh pada kondisi ini pada akhir pertumbuhannya biasanya menghasilkan produksi yang rendah.  Hal ini disebabkan kurang adanya keseimbangan antara besarnya fotosintesis yang dihasilkan dan berkurangnya karbohidrat karena adanya respirasi.  Bertambahnya suhu akan mempercepat kedua proses ini, tetapi di atmosfer di atas batas optimum, proses respirasi akan berlangsug lebih besar dari pada fotosintesis, sehingga bertambah tingginya suhu tersebut akan mengakibatkan berkurangnya produksi.

b.     Suhu di bawah batas optimum : tanaman yang tumbuh pada kondisi ini akan menghasilkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksinya akan lebih rendah.  Hal ini disebabkan pada suhu yang rendah besarnya fotosintesis yang dihasilkan dan protein yang dibentuk dalam keadaan minimum, akibatnya pertumbuhan dan perkembangan lambat dan produksi rendah.

Kerusakan tanaman terhadap suhu ekstrim.

Di Indonesia kerusakan tanaman terhadap suhu ekstrim jarang sekali terjadi, karena pada umumnya di daerah tropika variasi suhu tidak terlalu besar.  Namun di daerah beriklim sedang kerusakan tanaman akibat suhu rendah sering terjadi, demikian pula di daerah gurun pasir kerusakan akibat suhu tinggi.

Ada beberapa terminologi untuk kerusakan tanaman sebagai akibat suhu rendah, antara lain :

a.      Sufokasi (suffocation) : adalah lambatnya pertumbuhan tanaman karena permukaan tanah tertutup lapisan salju, misalnya kekurangan oksigen dalam tanah.

b.     Desikasi (desiccation) : disebut dengan istilah kekeringan fisiologis, bukan karena tidak ada air dalam tanah melainkan absorpsi air oleh akar terhambat karena berkurangnya permeabilitas selaput akar atau karena naiknya viskositas air dalam tanah dan bahkan membeku.

c.      Heaving adalah kerusakan tanaman karena hubungan akar dan bagian atas tanaman terputus disebabkan adanya kristal es pada permukaan tanah.

d.     Chilling :  adalah kerusakan akibat suhu rendah di atas titik beku (± 40C). Gejalanya : garis-garis khlorosis pada daun.

e.      Freezing Injury :  adalah pembekuan dalam jaringan tanaman yang berupa kristal es didalam atau di antara sel sehingga tanaman rusak secara mekanis, akibatnya bagian tanaman atau seluruh tanaman mati.

Selain kerusakan karena suhu rendah, suhu tinggipun juga merusak tanaman bila berada pada tingkat ekstrim.  Beberapa kerusakan tanaman akibat suhu tinggi antara lain : timbulnya kanker batang, rusaknya protoplasma sehingga sel menjadi rusak dan tanaman mati, dan respirasi meningkat secara cepat sehingga cadangan makanan (KH) hasil fotosintesis cepat habis.

Masih dalam kaitannya dengan respon tanaman terhadap suhu, proses pembungaan tanaman dapat dipercepat dengan Chilling (yaitu suhu rendah ± 40C).  Cara ini yang sering disebut dengan Vernalisasi, yang keberhasilannya ditentukan oleh :  a) Air yang cukup tersedia bagi benih untuk proses imbibisi tetapi tidak boleh terlalu banyak yang dapat menyebabkan benih berkecambah, b). Adanya periode “pre-chilling” selama 10-24 jam pada suhu 15-180C setelah pembasahan benih;  c). Oksigen cukup tersedia , dan  d).  Suhu chilling sebesar 1-60C selama ±  48 jam.

Dalam bidang pertanian dikenal istilah satuan panas (heat unit) , yaitu jumlah panas yang dibutuhkan tanaman selama siklus hidupnya.  Satuan panas tidak sama untuk setiap jenis tanaman.  Pada tanaman yang sama umur panen akan lebih panjang bila ditanam pada daerah bersuhu rendah karena untuk mendapatkan sejumlah satuan panas tertentu dibutuhkan waktu lebih lama.  Sehingga kegunaan praktis dari satuan panas ini adalah untuk meramal saat panen yang tepat setelah mengetahui secara umum berdasarkan deskripsi yang ada.

Walaupun demikian perlu diingat bahwa satuan panas bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan umur panen.  Masih banyak faktor lain yang perlu diperhatikan karena pengaruhnya cukup besar terhadap umur panen, antara lain : (a) Kesuburan tanah, dimana tanah yang terlalu subur terutama kandungan unsur N tinggi akan mempercepat panen; (b) Kandungan air dalam tanah dan kelembaban udara, tanaman yang tumbuh pada kondisi basah akan terpacu dominasi pertumbuhan vegetatifnya dari pada yang tumbuh pada kondisi kering; ( c) Radiasi matahari, kaitannya dengan panjang hari akan berpengaruh pada inisiasi pembungaan yang pada akhirnya mempengaruhi umur panen.

Suhu udara dan atau suhu tanah berpengaruh terhadap tanaman melalui proses metabolisme dalam tubuh tanaman, yang tercermin  dalam berbagai karakter seperti : laju pertumbuhan, dormansi benih dan kuncup serta perkecambahannya, pembungan, pertumbuhan buah dan pendewasaan/pematangan jaringan atau organ tanaman.

Respon tanaman terhadap suhu dan suhu optimum tanaman berbeda-beda tergantung kepada : jenis tanaman, varietas, tahap pertumbuhan tanaman dan macam organ atau jaringan.

Gambar 3.  Respon berbagai kelompok tanaman terhadap suhu

C.           T a n a h

Pokok-pokok dari faktor tanah meliputi : 1) Sejumlah air yang tersedia didalam tanah, 2) Jarak yang ditempuh pergerakan air yang tersedia, 3) Kecepatan pergerakan air yang tersedia 4) Oksigen yang tersedia didalam tanah.

1)      Air yang tersedia dalam tanah.

Air tanah terdapat pada pori-pori kapiler dan non kapiler dan selaput pada permukaan butir-butir tanah.  Keadaan air tanah dibedakan menjadi :

a)      Keadaan kapasitas menahan air maksimum, seluruh pori baik pori mikro maupun makro terisi penuh air.

b)      Keadaan kapasitas lapang, bila air telah mencapai keadaan maksimum selama beberapa waktu terjadi pergerakan air ke bawah sampai akhirnya gerakan terhenti, keadaan demikian disebut kapasitas lapang ( Field capasity). Disini pori makro sebagian diisi udara, sedang pori mikro penuh dengan air.

c)      Keadaan titik layu, yaitu keadaan air tanah sudah sangat berkurang, dimana ruang pori makro dan mikro tidak berisi air, dan

d)      Keadaan air higroskopis, yaitu air sudah habis sama sekali, kecuali pada permukaan partikel-partikel tanah sebagai air adsorbsi yang amat sulit dilepaskan.

Pada prinsipnya ada dua tipe air yang terdapat dalam tanah, yakni : (1) air tersedia, dan (2) air yang tidak tersedia. Air tersedia kadang disebut air kapiler dan dipegang oleh daya kapileritet, sedang kapasitas lapang sama dengan jumlah air tak tersedia dan air tersedia. Air yang tidak tersedia disebut juga dengan air higroskopis dan terikat secara mantap oleh koloid tanah.

Tabel 4.  Ketersediaan air pada tanah yang berbeda.

Jenis Tanah (Top Soil)

Kapasitas Lapang (%)

Air tak Tersedia (Higroskopis)%

Air Tersedia (Kapiler) %

Tanah berpasir (Sandy soil)

19,6

3,3

16,3

Tanah lempung berdebu (Silt loam)

31,3

10,1

21,2

Tanah berbatu bata hitam (black adobe)

47,6

12,9

34,7

Dari tabel di atas nampak bahwa kapasitas lapang pada tanah lempung berdebu lebih besar dari pada tanah berpasir, dan air yang tersedia pada tanah pasir lebih kecil dari pada tanah lempung.  Dengan bertambah besarnya kapasitas lapang tanah lempung mempunyai persediaan air tersedia lebih besar untuk tanaman.

2)      Jarak yang ditempuh oleh pergerakan air yang tersedia.

Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa air tersedia bergerak dalam tanah pada jarak pendek saja, yaitu tidak lebih dari 2 atau 3 feet (60 – 90 cm) saja.  Jarak pendek yang dilalui pergerakan air ini mempunyai hubungan yang penting dengan: kedalaman dan rapatnya permukaan absorpsi sistem akar dan jarak letak air di bawah permukaan tanah (dengan kenaikan kapiler dan absorpsi oleh akar).

Dikarenakan bahwa pergerakan air yang jarak pendek ini, tanaman dengan sistem perakaran dangkal tidak dapat mencapai air pada level yang lebih rendah. Oleh karenanya tanaman dengan sistem perakaran yang dalam dan rapat dapat bertahan kekeringan pada tingkat yang lebih besar daripada tanaman yang sistem perakarannya dangkal dan tidak rapat. Pada umumnya akar-akar sebagian besar tanaman yang sistem perakarannya berkembang meluas menembus sedalam 12-18 inch atau 30-40 cm ( 1 inch = 2,34 cm ) dari permukaan air di bawah permukaan tanah. Di dalam daerah 12-18 inch ini ruangan antara partikel tanah berisi air penuh (berlebih-lebihan) dan menderita kekurangan oksigen untuk perkembangan akar. Sehingga suatu permukaan air di bawah permukaan tanah (water  table) yang dekat dengan permukaan tanah menjadi pembatas penembusan akar.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa tinggi dari water table ( air tersedia di tanah) benar-benar berpengaruh terhadap pertumbuhan, vigor ( kekokohan/ketahanan ) dan kemampuan berproduksi tanaman yang mempunyai nilai ekonomis. Sebagai contoh, dengan faktor-faktor lain menguntungkan, raspberry menghendaki permukaan air tanah 18-36 inch ( 45-90 cm ) di bawah permukaan tanah. Contoh ; daerah Jawa Timur : tomat, kobis, selada, wortel, bit, bawang merah kurang dalam ; singkong, pohon buah mangga, jambu mete dalam ; jeruk, rambutan, salak kurang dalam.

3)      Besarnya pergerakan air yang tersedia.

Besarnya pergerakan air tanah yang dipergunakan tanaman tergantung pada (a) tipe tanah, (b) suhu, (c) konsentrasi larutan tanah & d) Oksigen yang tersedia di tanah

a.             Tipe tanah

Disebabkan kandungan koloid yang lebih besar, pergerakan air pada tanah liat (clay) kurang cepat dibandingkan pada tanah pasir. Oleh karenanya untuk menjamin kelestarian pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanah-tanah pasir harus mendapat air hujan atau air irigasi.

b.            Temperatur suhu tanah

Suhu berpebgaruh terhadap pergerakan air dalam 2 cara, yakni berpengaruh terhadap energi kinetic (daya gerak) dan viskositas (kekentalan) molekul.

Suhu bertambah akan menambah tenaga gerak dan mengurangi viskositas, sebaliknya berkurangnya suhu akan mengurangi daya gerak dan menambah viskositas. Oleh karena itu air bergerak kurang cepat pada tanah-tanah yang lebih tinggi dari suhunya. Pengaruh suhu ini dalam praktek misalnya dijumpai pada penanam-penanam yang mempergunakan pemanas pada dasar bedengan perbanyakan tanaman di rumah-rumah kaca. Suhu terutama mempengaruhi kecepatan pertumbuhan.

c.             Konsentrasi dari larutan tanah

Makin besar jumlah partikel-partikel yang terlarut pada suatu volume larutan, penghambatan pergerakan molekul-molekul air akan makin besar. Biasanya air tanah mengandung suatu konsentrasi larutan yang rendah dan molekul-molekul air bergerak bebas dari permukaan partikel tanah ke rambut-rambut akar. Namun kadang-kadang konsentrasi larutan tersebut menjadi begitu besar sehingga menghambat pergerakan air, sehingga tidak sampai pada daerah-daerah rambut akar.

d.            Oksigen yang tersedia di tanah

Akar-akar sebagian besar tanaman yang mempunyai nilai ekonomis membutuhkan oksigen untuk melangsungkan proses pengisapan air. Percobaan telah menunjukkan bahwa jika oksigen di tanah diganti dengan nitrogen atau karbondioksida, penyerapan air akan berkurang atau berhenti sama sekali. Kebutuhan oksigen untuk absorbsi air ini dititik beratkan kepentingannya untuk memperoleh drainase (pengaliran air)  yang baik. Jika ruang pori-pori tanah diisi dengan air, oksigen untuk kelangsungan absorbsi air akan tidak ada (absen).

Agar udara dapat mengambil bagian di tanah, air tanah yang berlebih-lebihan harus dihindarkan dengan mengalirkan air. Hampir sebagian besar tanaman buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman-tanaman hias menghendaki tanah-tanah yang drainasenya baik.

FAKTOR TANAMAN

Pokok-pokok faktor tanaman yang mempengaruhi absorbsi air adalah : (1) tenaga mengisap air dari rambut-rambut akar dan (2) dalam dan rapatnya daerah rambut akar.

Tenaga mengisap air dari rambut-rambut akar.

Daerah absorbsi air tanaman terdapat pada titik-titik pertumbuhan dari sistem akar. Di daerah ini sel-sel epidermis tertentu memanjang, dan daerah permukaan absorbsi air bertambah. Sel-sel ini disebut rambut-rambut akar. Fungsinya adalah mengisap air dan zat-zat makanan. Tenaga mengisap air dari akar-akar rambut ini ditentukan oleh tekanan osmose dan tekanan turgor dari akar-akar rambut tersebut.

Tekanan osmose ditentukan oleh konsentrasi air yang berbeda-beda pada masing-masing membran sitoplasma. Membran (selaput) hidup ini adalah semi permeable, dalam beberapa zat/ bahan akan selalu dapat melaluinya dan beberapa tidak.

Biasanya membran ini dapat ditembus ( dilalui ) larutan-larutan mineral dan air tidak dapat ditembus ( dilalui ) bahan-bahan organik, seperti gula dan larutan protein. Gula dan protein ini dalam larutan yang terlarut dengan air dalam rambut-rambut akar dan biasanya dengan air di tana. Disebabkan kadar air yang lebih rendah di rambut akar, air meresap masuk dari tanah ke akar. Lebih rendahnya konsentrasi air di rambut-rambut akar sejauh mana disebabkan oleh kandungan gulanya. Fotosintesa membuat gula. Sebagai akibatnya, tanaman yang fotosintesanya tinggi dan sistem perakarannya berkembang dengan cepat dapat mengisap air lebih banyak pada suatu kesatuan waktu daripada tanaman-tan0aman dengan nilai fotosintesa rendah dan sistem perakarannya berkembang lambat.

Dalam dan rapatnya permukaan absorbsi

Dalam permukaan absorbsi menunjukkan tentang dalamnya akar-akar menembus (memasuki tanah). Pada umumnya, dalamnya penembusan berubah-ubah tergantung jenis tanaman dan tipe dari tanah.

Beberapa tanaman mempunyai sistem perakaran yang agak dangkal dan yang lain mempunyai sistem perakaran yang dalam. Tanaman dengan sistem perakaran yang dalam dapat memperoleh lebih banyak air daripada tanaman dengan sistem perakaran dangkal. Hal ini terutama jelas pada keadaan transpirasi yang tinggi.

Dalam- dangkalnya sistem perakaran suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh prosentase kandungan oksigen pada bermacam-macam tanah. Jenis tanaman yang sama yang tumbuh pada tanah lempung berliat akan mempunyai sistem perakaran yang lebih dangkal dari tanaman yang tumbuh di pasir atau lempung berpasir.

Pada kenyataan, banyak tanaman yang tumbuh di tanah yang sangat berpasir akar-akarnya mampu menembus sekitar 20-25 fost (6-7,5 m) dan di tanah liat hanya mampu menembus sekitar 3-4 fost (0,9-1,2 m).

Kecepatan permukaan absorbsi menunjukkan jumlah rambut-rambut akar dan akar-akar yang tumbuh baik yang menempati masing-masing satu kesatuan volume tanah. Dengan mengambil dua tanaman A dan B, sistem perakaran tanaman A mempunyai satu juta akar-akar rambut untuk setiap cubic foot (0,027 m3 ) tanah dan panjangnya 10 foot (3 m) dan akar-akar tanaman B hanya mempunyai 10.000 akar-akar rambut untuk setiap cubic foot  (0,027 m3 ) tanah yang dicapai oleh akar-akar. Dikarenakan air bergerak hanya jarak pendek saja dan disebabkan kerapatan akar tanaman A lebih besar, akan memperoleh jumlah air yang lebih besar daripada tanaman B.

Jadi baik dalamnya penembusan akar dan derajat bercabang-cabangnya akar memegang peranan penting, terutama selama periode-periode transpirasi tinggi. Ciri-ciri khas tanaman tahan kekeringan adalah tanaman-tanaman yang sistem perakarannya dalam dan meluas.

D.          PERANAN UNSUR HARA BAGI TANAMAN

Unsur hara atau nutrisi merupakan faktor penting bagi pertumbuhan tanaman yang dapat diibaratkan sebagai zat makanan bagi tanaman. Sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsur hara dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, seperti : nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), belerang (S), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Unsur hara makro sering dibagi menjadi dua bagian, yakni unsur hara primer (N, P dan K) dan unsur hara sekunder (S, Ca dan Mg). Selain unsur hara tersebut, tanaman juga mambutuhkan unsur lain yang juga dalam jumlah besar, yaitu : karbon ©, hidrogen (H) dan oksigen (O). Namun unsur-unsur ini (C, H dan O) jarang dibicarakan, bukan karena peranannya kecil akan tetapi karena ketersediaannya dialam yang berlimpah serta peranannya dalam proses metabolisme tidak berdiri sendiri. Kekurangan unsur ini juga tidak dapat dilihat secara terpisah. Unsur C diserap tanaman dalam bentuk CO2 dalam proses fotosintetis, unsur H diserap dalam bentuk H2O dan unsur O diserap dalam bentuk O2 pada proses respirasi. Sedangkan yang tergolong unsur hara mikro (dibutuhkan dalam jumlah kecil), antara lain besi (Fe), borron (B), mangan (Mn), seng (Zn), tembaga (Cu) dan molibdenum (Mo).

Jumlah energi yang dibutuhkan bagi penyerapan aktif unsur hara tanaman diperoleh dari respirasi karbohidrat yang terbentuk sebagai hasil dari fotosintesis tanaman. Oleh karenanya sejumlah faktor yang mengurangi laju fotosintesis, akan mengurangi suplai energi di dalam tanaman dalam waktu lama dan akibatnya mengurangi laju penyerapan unsur hara.

Setiap unsur hara memiliki peran spesifik dalam tanaman, namun demikian ada beberapa unsur yang berperan ganda. Karena setiap unsur memainkan peran khusus, maka suatu keadaan defisit atau berlebihan umumnya akan mengakibatkan gejala khas. Bila sejenis unsur memiliki lebih dari satu peran khusus, maka akan timbul berbagai macam efek defisiensi bergantung pada proses dalam tanaman yang dipengaruhi.

Agar tanaman tumbuh sempurna, maka sebaiknya semua unsur esensial harus tersedia dalam jumlah cukup. Jika lebih dari sejenis hara yang kurang dalam suatu tanaman, maka akan kecil respon tanaman tersebut bila yang diberikan hanya satu unsur hara diantaran0ya. Beberapa faktor lain, seperti : hama, penyakit, gulma dan faktor pembatas yang lain juga akan menurunkan respon tanaman terhadap pemupukan. Diagram berikut ini menunjukkan peran yang dimainkan sejumlah unsur hara dalam proses fotosintesis dan sintesis karbohidrat.

Fungsi Nitrogen dalam Tanaman

Tanaman non legume biasanya menyerap N dari dalam tanah dalam bentuk NO3 atau NH4 +. Pada kebanyakan tanah pertanian NO3 merupakan bentuk senyawa N yang paling banyak diserap tanaman. Tanaman legume mampu mengambil N2 dari atmosfir dengan bantuan Rhizobia sp. Hanya sedikit N tanah yang digunakan oleh tanaman legume.

N-anorganik dalam lingkungan normal segera diubah menjadi asam-asam amino dan akhirnya dirangkai menjadi protein tanaman. Protein sel-sel vegetatif sebagian besar lebih bersifat fungsional daripada struktural dan bentuknya tidak stabil sehingga selalu mengalami pemecahan dan reformasi.

Sebagai pelengkap bagi peranannya dalam sintesa protein, Nmerupakan bagian tak terpisahkan dari molekul klorofil dan karenanya suatu pemberian N dalam jumlah cukup akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang vigor dan warna hijau segar. Pemberian N yang berlebihan dalam lingkungan tertentu dapat menunda pendewasaan tanaman.

Secara fungsional nitrogen juga penting sebagai penyusun enzim yang sangat besar peranannya dalam proses metabolisme tanaman, karena enzim tersusun dari protein. Nitrogen merupakan unsur amat mobil dalam tanaman yang berarti bahwa protein fungsional yang mengandung N, dapat terurai pada bagian tanaman yang lebih tua, kemudian diangkut menuju jaringan muda yang tumbuh aktif.

Gejala Defisiensi

Bila tanah kurang mengandung N tersedia, maka seluruh tanaman bisa berwarna hijau pucat atau kuning (klorosis). Hal ini bisa terjadi karena rendahnya produksi klorofil dalam tanaman. Daun tertua lebih dulu menguning karena N dipindahkan dari bagian tanaman ini menuju ke daerah ujung pertumbuhan, dimana ia digunakan kembali guna menunjang pertumbuhan baru. Daun bawah tanaman yang defisien mula-mula menguning di bagian ujung dan gejala klorosis cepat merambat melalui tulang tengah daun menuju batang. Daun tepi dapet tetap hijau untuk beberapa saat. Bila defisiensi menjadi semakin berat, daun tertua kedua dan ketiga mengalami pola defisiensi serupa dan daun tertua pada saat itu akan menjadi coklat sempurna.

Bila defisiensi N dapat dilacak pada tahap awal pertumbuhan , maka defisiensi dapat dipulihkan dengan suatu penambahan pupuk yang mengandung N dengan sedikit pengaruh pada hasil panen.

Fungsi Fosfor dalam Tanaman

Fosfor dalam bentuk senyawa fosfat organik, bertanggung jawab pada salah satu atau beberapa cara perubahan energi dalam bahan hidup. Sejumlah senyawa fosfat telah terbukti bersifat esensial bagi fotosintesis, sintesis karbohidrat dan senyawa lain yang sejenis, glikolisis, asam amino, metabolisme lemak dan S, serta oksidasi biologis. Karena peranannya sebagai energi tanaman, P merupakan unsur yang segera mobil dan dipusatkan dibagian pertumbuhan aktif.

Tanaman menyerap sebagian besar kebutuhan fosfornya dalam bentuk ortofosfat primer H2PO4 . Sejumlah kecil bentuk H2PO4 juga diserap dan bentuk P yang terdapat dalam tanah dikendalikan oleh pH larutan tanah.

Imobilitas P dalam tanah mengisyaratkan cara penempatan pupuk yang baik karena mempengaruhi penggunaan P secara efisien. Suplai P yang mencukupi adalah penting pada awal pertumbuhan tanaman, karena pada masa ini tanaman mengalami masa primordia reproduktif dan oleh karenanya menentukan hasil biji yang maksimum.

Gejala Defisiensi

Tanaman jagung muda yang defisien P biasanya menunjukkan pertumbuhan terhambat dan berwarna hijau gelap. Pengerdilan menyeluruh terjadi karena kurangnya P tersedia bagi beberapa reaksi biokimia tanaman yang memerlukan energi. Produksi klorofil bisa berkurang dan jika hal ini terjadi terbentuklah pigmen merah, yakni antosianin, yang mendominasi dan memeberikan warna keunguan pada daun. Perubahan warna merah atau ungu dimulai pada ujung daun dan berlanjut di sepanjang tepi daun.

Fungsi Kalium

Peranan K dalam tanaman nampaknya sebagai katalis dalam seluruh kisaran reaksi termasuk : (a) Metabolisme karbohidrat ; (b) Metabolisme nitrogen ; © Aktivasi enzim ; (d) Memacu pertumbuhan di jaringan meristem ; dan (e) Mengatur pergerakan stomata dan kebutuhan air.

K diserap tanaman dalam bentuk ion K+ dari kompleks pertukaran dan segera mobil dalam tubuh tanaman.

Gejala Defisiensi

Empat penampakan penting pada tanaman yang defisien K yaitu :

i).        Sintesis protein. Dalam penelitian dengan tanaman tebu membuktikan bahwa pada tanaman  yang kekurangan hara K, tidak terjadi akumulasi N-protein di daun karena adanya penurunan dalam sintesis protein.

ii).        Ketahanan terhadap penyakit. Tanaman yang kekurangan unsur K lebih peka terhadap penyakit dibanding tanaman yang diberi pupuk cukup .

iii).       Ketahanan terhadap kekeringan. Berkat peranan unsur K dalam mengatur pembukaan stomata, maak K berperan penting dalam kadar air internal tanaman. Tanaman yang miskin K kehilangan kendali dalam laju transpirasinya dan menderita kekeringan internal.

iv).       Kekuatan batang. Tanaman yang kekurangan K pada umumnya berbatang lemah dan suatu keadaan defisiensi K dapat menunjukkan gejala kerebahan (roboh) pada tanaman berbiji kecil serta pematahan batang pada jagung dan shorgum (Tabel 5).

Tanaman yang kekurangan K mungkin tidak memperlihatkan suatu gejala defisiensi, tetapi hasil tanaman akan sangat menurun. Jika terjadi gejala pada daun, maka hal ini terjadi pada jaringan yang lebih tua karena adanya mobilitas K. Biasanya tanaman mengerdil dengan ruas-ruas yang memendek.

Gejala pada daun ditandai dengan suatu proses penguningan yang dimulai pada ujung daun yang lebih tua dan berjalan di sepanjang tepian hingga pangkal daun. Seringkali tepi daun menjadi coklat dan kering (nekrosis).

Fungsi Belerang

Sulfur hampir seluruhnya diserap dalam bentuk ion SO42-, direduksi dalam tanaman dan digabungkan ke dalam senyawa organik. S merupakan konstituen dari asam-asam amino : sistin, sistein dan methionin dan karenanya protein mengandung jenis asam amino tersebut.

Gejala Defisiensi

Karena terjadinya penurunan fotosintesis dan pembentukan protein bila kekurangan S, maka terdapat kadar pati rendah serta suatu akumulasi fraksi-fraksi N yang dapat larut.

Defisiensi S pada jagung menunjukkan gejala penguningan menyeluruh terutama pada daun yang lebih muda karena adanya imobilitas S dibawah kondisi kekurangan. Seringkali dedaunan menunjukkan gejala klorosis interveinal mirip dengan defisiensi Zn. Defisiensi S paling sering terjadi pada tanah-tanah alkalis.

Fungsi Kalsium

Fungsi Ca pada umumnya merupakan kation utama dari lamela tengah suatu dinding sel, dimana kalsium pektat merupakan penyusun utamanya. Selain itu Ca memiliki andil penting dalam pengaturan membran sel dengan jalan memelihara selektuvitas terhadap berbagai jenis ion.

Gejala Defisiensi

Karena peranan Ca sebagai bahan struktural dalam tubuh dalam tubuh tanaman adalah amat imobil, maka gejala defisiensi semakin jelas pada saat pertumbuhan baru. Dalam beberapa hal, jaringan tanaman yang lebih tua bisa mengandung sejumlah Ca yang berlebihan sedangkan daerah pertumbuhan baru kekurangan. Walaupun semua titik tumbuh peka terhadap defisiensi Ca

tetapi bagian akarlah yang lebih parah. Bagian itu akan berhenti tumbuh, menjadi tidak teratur, terlihat bagai membelit dan pada defisiensi berat akan mati.

Pada jagung, gejala foliar pertama nampak berwarna kuning menyebar hingga putih dengan luas sekitar 1/3 jarak dari ujung daun yang termuda. Daun berikutnya yang terbentuk dapat mengalami klorosis dan menggulung. Akhirnya pucuk tanaman terhenti pertumbuhannya.

Fungsi Magnesium

Mg diserap dari tanah dalam bentuk ion Mg2+. Mg menyusun lokus pusat dari molekul klorofil dan juga merupakan aktivator berbagai jenis enzim yang mempengaruhi hampir setiap proses metabolisme tanaman.

Mg diperlukan bagi pengaktifan sejumlah enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan teristimewa dalam siklus asam sitrat yang penting dalam proses respirasi.

Gejala Defisiensi

Mg merupakan unsur mobil dalam tanaman dan segera ditranslokasikan ke bagian yang lebih muda dari bagian tanaman yang lebih tua. Pada beberapa spesies defisiensi muncul berupa klorosis internal daun, sedangkan pembuluh angkut daun tetap hijau. Pada saat defisiensi semakin parah, jaringan daun menjadi pucat merata, kemudian coklat dan nekrosis.

Sebagai akibat dari klorosis, tanaman yang kekurangan Mg memiliki laju fotosintesis yang lebih rendah, lintasan biosintetis kacau sebagai hasil dari penghambatan sejumlah proses transfosforilasi enzimatis dan senyawa N terlarut tredapat dalam kadar yang lebih tinggi di atas normal.

DIAGNOSIS DEFISIENSI

Terdapat banyak resiko dalam melakukan diagnosis secara terpisah terhadap sejumlah gejala yang ada, karena hasilnya mudah dikacaukan satu sama lain dan juga oleh pengaruh bahan kimia, kekeringan maupun penyakit.

Namun demikian menurut pengalaman dan pengetahuan tentang keadaan tanah yang berkaitan dengan beberapa gejala, maka kesemuanya dapat merupakan alat diagnostik yang berguna. Kunci pedoman yang diuraikan di bawah ini dapat bermanfaat dalam tujuan diagnosis itu :

A.

Pengaruh lokal, terjadi sebagai pembecakan atau klorosis dengan atau tanpa becak nekrosis  pada daun yang lebih bawah, sedikit atau tanpa pengeringan pada daun bawah.
1). Daun bawah melekuk atau mengangkup ke bawah dengan becak kekuningan di ujung  dan tepi. Becak nekrosis di ujung dan tepi. . . . . . .

2). Daun bawah klorosis diantara pembuluh utama pada ujung dan tepi dengan warna hijau pucat hingga putih. Biasanya tanpa becak nekrosis . .

(Kalium)

(Magnesium)

B.

Pengaruh umum, terjadi penguningan dan pengeringan atau “ kebakaran “ pada daun-daun  sebelah bawah.  1).Tanaman berwarna hijau pucat, daun bawah kuning, kering dan berwarna coklat terang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2).Tanaman berwarna hijau gelap, lebar daun menyempit dibanding panjangnya tanaman  tak mencapai dewasa .  . . . . . . . . . . . .  . . . . . . . .

(Nitrogen)

(Fosfor)

C.

Mati pucuk pada tunas terminal, yang didahului oleh nekrosis pada ujung atau pangkal  daun muda yang mengalami stagnasi pertumbuhan  1). Daun muda membentuk tunas terminal, berwarna hijau terang, diikuti dengan pelengkungan ke bawah yang khas di bagian ujung, kemudian nekrosis, sehingga bila terjadi pertumbuhan yang kedua maka bagian ujung dan tepi daun akan menghilang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2). Pertumbuhan daun muda terhambat dan bagian pangkal berwarna hijau terang, diikuti dengan dekomposis di pangkal daun, dan jika terjadi pertumbuhan yang terakhir maka daun akan terpilin ; daun patah dan memperlihatkan penghitaman pada jaringan pembuluh . . . . . . . . . .. . . .

(Kalsium)

(Boron)

D.

Tunas terminal tetap hidup, terjadi klorosis daun pucuk atau bagian atas, dengan atau tanpa becak nekrosis, pembuluh berwarna cerah atau hijau gelap  1). Daun muda dengan becak nekrosis menyebar di seluruh daun yang klorosis, cabang pembuluh terkecil cenderung tetap hijau, menimbulkan pengaruh yang bisa diamati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . . .

2). Daun muda tanpa becak nekrosis, klorosis bisa atau tidak melibatkan pembuluh  sehingga mengakibatkan daun berwarna hijau terang .. . . . . . .

(Mangan)

(Copper)

E

Daun muda dengan pembuluh atau warna hijau cerah atau kegelapan yang sama seperti   jaringan interveinal.  Berwarna hijau terang, tidak pernah putih atau kuning, daun bawah tidak mengering.  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(Sulfur)

F.

Daun muda mengalami klorosis, pembuluh utama berwarna hijau yang lebih gelap dari pada jaringan yang terletak diantara pembuluh angkut daun.  1). Keseluruhan daun menjadi berwarna kuning pucat/ putih.  . . . . . .  . .

2). Terjadi klorosis interveinal

(a).  Pertumbuhan terminal terhambat dan membentuk ‘ roseta “ . . . . . . .

(b).  “ Mati bujang “ di bagian pucuk dan di sepanjang tepi daun . . . . . . .( Fe )

(Zn)

(Cu)

DAFTAR PUSTAKA

Edmond, J.B., T.L. Senn, F.S. Andrew and R.G. Halfacre,  1975.  Fundamentals of Horticulture.  Tata McGraw Hill Publ. Co. Ltd.  New Delhi.  560 pp.

Fordham, R., and A.G. Biggs,  1985.  Principles of Vegetable Crop Production.  William Collins & Co. Ltd.,  London.  215 pp

Hartmann, T.H., A.M. Kofranek,  V.E. Rubatzky,  W.J. Flocker, 1988.  Plant Science, Growth Development and Utilization of Cultivated Plants. Prentice Hall International, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.  674  pp

Janick, J., 1972.  Horticultural Science.  W.H. Freeman and Co.  San Francisco.  586 pp.

Sumeru  Ashari,  1995.  Hortikultura, Aspek Budidaya.  UI Press, Jakarta.  485 hal.

Yogi Sugito,  1996.  Ekologi Tanaman.  Diktat Kuliah.  Program Pasca Sarjana, Unibraw, Malang. 101 hal.


BAB. IV

PEKARANGAN


Pengembangan pertanian yang sudah dilaksanakan sekarang ini masih terbatas pada  penanganan lahan sawah, sedangkan  untuk pekarangan belum banyak mendapatkan perhatian. Mengenai pekarangan kalau kita lihat hampir semua tempat di Indonesia ini dapat kita jumpai adanya pekarangan, kecuali di daerah Banten selatan, dan pekarangan merupakan agroekosistem yang sangat baik serta mempunyai potensi yang tidak kecil dalam mencukupi kebutuhan hidup petani atau pemiliknya, bahkan kalau dikembangkan secara baik akan dapat bermanfaat lebih jauh lagi, seperti kesejahteraan masyarakat sekitar, pemenuhan kebutuhan pasar bahkan mungkin memenuhi kebutuhan nasional.

Di Pulau Jawa terdapat pekarangan seluas kurang lebih sekitar satu setengah juta ha (1,5 ha), atau hampir mencapai luas sebesar dua puluh (20) persennya dari seluruh luas

tanah pertanian, dan di sekitar daerah Jawa Barat rata-rata luas pemilikan tanah pekarangan sebesar sekitar 208,12 m2.

Luas pekarangan seluruh Indonesia mencapai sekitar dua ribu dua ratus limapuluh enam dua ratus enam puluh enam ha (2.256.266 ha) atau sekitar enam belas koma delapan puluh delapan persen (16,88 %) dari seluruh luas tanah pertanian rakyat. Pekarangan yang berada disekitar rumah tersebut dapat memberi tambahan hasil berupa bahan makanan seperti palawija, buah-buahan dan sayur-sayuran, kayu-kayuan baik untuk bahan kayu bakar maupun untuk kayu bahan bangunan. Maka untuk merubah penghasilan petani dan pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat perlu memperhatikan arti penting lahan pekarangan.

1.   Pengertian Pekarangan.

Setiap orang akan dengan mudah menunjukkan apabila ditanya mana pekarangannya atau mana yang disebut pekarangan maka orang segera menunjuk tanah disekitar rumah seseorang atau yang dilihat atau dimilikinya, tetapi walau demikian mudah untuk menunjukkannya secara nyata tetapi kalau untuk memberi pengertian atau batasan tentang apa yang dimaksudkan dengan pekarangan sering orang mengalami kesulitan. Banyak orang berusaha untuk membuat definisi atau pengertian pekarangan tetapi dari banyak pengertian atau definisi tersebut yang umum digunakan adalah yang dirumuskan oleh Terra (1948), selanjutnya definisi tersebut diperluas oleh Soemarwoto (1975).

2.   Fungsi Pekarangan

Fungsi sosial dari pekarangan adalah untuk memberi rasa nyaman bagi lingkungan tempat tinggal, tempat anak-anak bermain-main juga untuk melepaskan lelah serta bersantai ria pada waktu senggang maupun untuk melepaskan binatang kesayangannya. Fungsi ekonomi dari pekarangan menurut penelitian yang dilakukan oleh Terra (1948) diungkapkan oleh Danoesastro 1976, serta dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan Rakyat diperoleh hasil bahwa pekarangan mempunyai banyak fungsi (Manfaat pekarangan) yaitu  : Sumber Karbohidrat, Menghasilkan bahan setiap hari, Sumber bahan bangunan rumah atau keperluan lain, Penghasil bumbu masak yang diperlukan, Penghasil kayu bakar, Penghasil bahan dasar untuk kerajinan rumah tangga , dan Penghasil Protein hewani.

 

3.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bentuk, Luas dan Intensitas Pekarangan

Apabila dilakukan pengamatan pada pekarangan yang ada baik itu di Jawa maupun di luar Jawa, maka akan nampak bahwa bentuk, luas dan intensitas pekarangannya berbeda-beda. Pada dataran rendah berbeda dengan di pegunungan, daerah dengan iklim basah berbeda dengan daerah yang mempunyai iklim kering, serta letak suatu daerah dengan perkotaan, tempat yang jauh dari kota dengan yang dekat dengan kota akan ada perbedaan pengembangannya.

Terra (1953) mengemukakan bahwa penyebaran, luas dan intensitas serta bentuk pekarangan dipengaruhi oleh faktor ethnologis, iklim, tanah dan tergantung pada seberapa besar kepadatan penduduk, serta imbangan dengan pemilikan tanah yang lain.

4.   Pengaturan Pekarangan.

Seperti yang telah diuraikan tedahulu bahwa pekarangan dapat memberikan bermacam-macam hasil seperti : Palawija, Buah-buahan, Sayur-sayuran Bunga-bungaan, Rempah-rempah, Obat-obatan, Kayu-kayuan, Bahan kerajinan, Ikan, Pupuk kandang, Hewan ternak, dan  Madu tawon/lebah.

Pekarangan sering memberikan kesan pada yang melihatnya sebagai hutan rimba yang produktif (Agroforestry) atau sebagai kebun yang terlantar karena pekarangan tersebut ditumbuhi oleh bermacam-macam tanaman. Pengaturan pekarangan yang kurang baik akan memberikan pandangan yang kurang baik pula. Dengan pengaturan tanaman dalam pekarangan secara baik akan menciptakan keindahan alam lingkungan terbuka di pekarangan. Keindahan pekarangan tidak saja memberi kegembiraan pada pemiliknya tetapi juga memberi kesenangan pada siapa saja yang lewat dan memandangnya.

5.   Kemungkinan Pengembangan Pekarangan

Pengembangan pekarangan yang terarah, tidak cukup hanya dengan melakukan perlombaan-perlombaan yang bersifat seremonial belaka seperti lumbung hidup, apotik hidup atau warung hidup yang bersiaft sementara selagi ada kegiatan lomba yang dahulu sering dilakukan untuk sekedar menyenangkan pejabat belaka tetapi tanpa ada pembinaan lebih lanjut. Sebenarnya hal tersebut juga dapat mendorong pengembangan pengusahaan pekarangan asalkan dilakukan dengan perencanaan yang baik dari pejabat yaitu dengan usaha peningkatan pengetahuan pemilik pekarangan, dilakukan pembinaan dan pendidikan yang menyeluruh serta diikuti penyediaan sarana maupun penampungan hasilnya atau paling tidak arahan kemungkinan pemasaran produk yang nantinya akan dihasilkan kalau pekarangan benar-benar telah berkembang nantinya.

            DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. 1975. Dunia Ekonomi Kita. Yayasan Kanisius, Yogyakarta. 276 hal.

Anonim. 1981. Usaha Meningkatkan Potensi Pekarangan Di Desa Sekitar Hutan. Impormasi Pertanian, DEPTAN. Balai Informasi Kayuambon, Lembang, Jabar.. (5):3-6

Atjung. 1976. Tumbuh-tumbuhan Perhiasan di Pekarangan. NV> Masa Baru, Bandung, Jakarta. 147 hal.

Danoesastro, H. 1973. Kemungkinan Peningkatan Pertanaman Pekarangan. Penataran Purna Sarjana Penyuluhan Pertanian UGM ke II, Yogyakarta. 11 hal.

——————. 1976a. Pekarangan. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM> Yogyakarta. 49 hal.

——————-. 1976b. Pohon Buah-buahan. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 98 hal.

——————-. 1977. Peranan Pekarangan dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional Rakyat Pedesaan. Gadjah Mada Univercity Press. Yogyakarta. 16 hal.

Garnadi, A. 1972. Tanaman Pekarangan Membawa Keuntungan. Majalah Pertanian (12);1-42.

Karyno. 1980. Struktur Pekarangan Pedesaan Daerah Aliran Sungai Citarum, Jabar. Desertasi Fak. Ilmu Pengetahuan Alam UNPAD. Bandung. 232 hal.

Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta. 274 hal.

Naniek Siti Murdjati. 1978. Peranan Pekarangan Dalam Mencukupi Kebutuhan Sehari-hari Masyarakat Pedesaan. Makalah Seminar Mahasiswa Agronomi UGM. 11 hal.

Setadiredja Soeparmo. 1969. Hortikultura I. Pekarangan dan Buah-buahan. CV Yasa Guna. 160 hal.

Setijadi Haryadi, S. 1975. Potensial Contribution Of Home Gardening To Nutrition Invervention Program In Indonesia. Seminar Food and Nutrition. Yogyakarta. 20 hal.

Soemarwoto, O. 1980. Interrelation Among Population, Resources, Environment and Development In The Escap Region With Special Reference to Indonesia. Ekologi dan Pembangunan, The Institute of Ecology Padjadjaran University. Bandung (7) : 1-76.

Suwarno, R. 1975. Peranan Pekarangan dalam Kehidupan Sehari-hari. Majalah Pertanian (1) : 1-45.


BAB. V

KEMASAKAN DAN GRADING

BUAH-BUAHAN DAN SAYUR-SAYURAN


Buah dan sayuran perkembangan dimulai dengan pembentukan suatu bagian yang dapat dimakan, pembentukan buah, kemunculan bibit, perkembangan umbi, atau perkembangan tangkai bah dan diakhiri dengan kehilangan karakter bagian yang dapat dimakan, melalui kemunduran fisiologi, perkembangan karakter serat-seratan atau kerusakan (spoilage) melalui intervensi mikrobiological (Ryall and Lipton,1972; Reid, 1992). Kondisi kemasakan dari komoditas hortikultura segar adalah merupakan kontinum sepanjang waktu perkembangannya (Gambar 1). Scala waktu berhubungan dengan perkembangannya, tetapi secara pasti lamanya waktu tersebut sangatlah bervariasi dan sangat uniq untuk setiap komoditas. Istilah matang (Mature) berkaitan dengan titik dalam scala waktu perkembangan sewaktu komoditi hortikultura dalam suatu keadaan yang siap untuk dipergunakan (proses, simpan) atau dimakan.

Kualitas disisi lain berhubungan dengan derajat kepuasan dari konsumen atau pengguna seperti ditetapkan berdasarkan pengunaan dari komoditas yang masak tersebut. Kenyataannya kepuasan dapat berkurang karena produk lewat atau kurang masak, dengan demikian produk tersebut dikatakan berkualitas kalau mempunyai kemasakan optimal. Sehubungan dengan hal tersebut penentuan saat panen sangat penting agar produk yang dihasilkan mempunyai nilai tinggi sesuai kebutuhan pasar Karena dari persamaan keduanya antara masak dan kualitas saling berhubungan dan dengan dugaan atau kebutuhan pasar.

Dugaan atau kebutuhan pasar diwujudkan melalui peraturan atau pedoman yang dikeluarkan oleh kelompok penanam, melalui rencana kontrak, atau melalui autoritas pemegang kebijakan yang diwujudkan sebagai standar kualitas atau grade dan didukung oleh badan yang berwenang mendukung pelaksanaan regulasi tersebut. Di Indonesia standar kualitas ditentukan oleh badan yang berwenang untuk mengeluarkan tersebut dan produknya diberi label dengan SNI.

GRADE

Di Canada baik buah-buahan maupun sayur-sayuran standar grade meliputi tiga hal atau parameter yang meliputi nama komoditas, suatu seri klas grade kualitasna dan suatu seri atribut yang pergunakan dalam penetapan standar grade tersebut seperti:  warna, ukuran, kemasakan, tekstur dan bebas tidaknya dari kerusakan seperti kebusukan, penyakit dan kerusakan akibat benturan fisik. Semua itu dapat dilakukan dilapang dengan menggunakan peralatan yang seminimum mungkin tidak harus menggunakan peralatan yang canggih ini sangat perlu karena demi kemudahan dalam melaksanakan tugas serta kelancaran maupun kecepatan dalam melakukan grading atau inspeksi di lapang. Walau kadang-kadang juga diperlukan alat bantu agar dalam memberikan hasil yang akurat seperti alat pengukur warna atau ukuran buah apel ada alat bantunya kalau memang diperlukan.

Standart grade di Canada nampak konsisten pada buah-buahan maupun sayur-sayuran kriteria standartnya meliputi nama komoditas, suatu seri klas gradenya sesuai dengan standart kualitas yang dapat dipenuhinya, dan suatu seri atribute kriteria standart yang dipergunakan untuk menentukan grade setiap komoditas.

Atribute parameter kriteria  seperti warna dan ukuran komoditas kadang-kadang sering di kuantitaskan dengan menggunakan alat sebagai pembanding atau alat koreksi kebenaran dari inspector dalam melakukan tugasnya. Kemampuan inspektor melakukan tugasnya dengan baik dan benar dalam menentukan grade suatu produk atau sistem grading secara umum dengan bantuan alat yang sesedikit-dikitnya atau minimal sangat penting karena akan menentukan kecepatan  dalam melaksanakan tugas.

KEMASAKAN

Salah satu hal yang penting sebagai parameter dalam menentukan standar grade suatu komoditas adalah ekpresi dari tingkat kemasakannya. Secara umum dikatakan bahwa kemasakan suatu produk adalah didefinisikan sebagai keadaan suatu produk dapat digunakan ini dilihat dari sudut pandang pengguna/customer. Dalam beberapa produk seperti buah-buahan, suatu proses pemasakan mungkin sangat diperlukan untuk mencapai kondisi suatu produk buah secara optimal untuk dapat dikonsumsi. Proses pemasakan ini umumnya ditunjukkan oleh perubahan dalam warna, tekstur (umumnya pelunakan), dan flavor dan memberikan suatu perubahan yang ideal untuk  kemasakan. Arti penting dari indikator kemasakan ini adalah dalam menentukan atau memperkirakan kualitas atau kualitas gradenya dari suatu komoditas yang akan dibutuhkan  oleh pembeli.

PUSTAKA

 

Beveridge, T. H. J. (2003).Maturity and Quality Grades for Fruits and Vegetables”. In Handbook of Postharvest Technology, cereals, fuits, vegetables, tea and spices. Ed. A. Chakraverty, .. Mujumdar, G.S.V. Raghavan and H. S. Ramaswamy. Marcel Dekker, Inc. New York.


BAB. VI

PROSES-PROSES PASCA PANEN


 

Produk Hortikultura seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang telah dipanen masih merupakan benda hidup, seperti kalau belum dipanen atau masih di pohon. Benda  hidup disini dalam pengertian masih mengalami proses-proses yang menunjukkan kehidupanya yaitu proses metablisme. Karena masih terjadi proses metabolisme tersebut maka produk buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah dipanen akan mengalami prubahan-perubahan yang akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi kimiawinya serta mutu dari roduk tersebut.

Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti terjadinya respirasi yang berhubungan dengan pengambilan unsur oksigen dan pengeluaran cabon dioksida, serta penguapan uap air dari dalam produk tersebut, yang petama kita kenal dengan istilah respirai sedangkan yang kedua dikenal sebagai transpirasi.

Kehilangan air dari produk hortikultura kalau masih di pohon tidak masalah karena masih dapat digantikan atau diimbangi oleh laju pengambilan air oleh tanaman. Berbeda dengan produk yang telah dipanen kehilangan air tersebut tidak dapat digantikan, karena produk tidak dapat mengambil air dari lingkungnnya. Demikian juga kehilangan substrat juga tidak dapat digantikan sehinga menyebabkan perubahan kualitas dari produk yang telah dipanen atau dikenal sebagai kemunduran kualitas dari produk, tetapi pada suatu keadaan perubahan tersebut justru meningkatkan kualitas produk tersebut.

Kemunduran kualitas dari suatu produk hortikultura yang telah dipanen biasanya diikuti dengan meningkatnya kepekaan produk tersebut terhadap infeksi mikroorganisme sehingga akan semakin mempercepat kerusakan atau menjadi busuk, sehingga mutu serta nilai jualnya menjadi rendah bahkan tidak bernilai sama sekali.

Pada dasarnya mutu suatu produk hortikultura setelah panen tidak dapat diperbaiki, tetapi yang dapat dilakukan adalah hanya usaha untuk mencegah laju kemundurannya atau mencegah proses kerusakan tersebut berjalan lambat. Berarti bahwa mutu yang baik dari suatu produk hortikultura yang telah dipanen hanya dapat dicapai apabila produk tersebut dipanen pada kondisi tepat mencapai kemasakan fisiologis sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penggunanya. Produk yang dipanen sebelum atau kelewat tingkat kemasakannya maka produk tersebut mempunyai nilai atau mutu yang tidak sesuai dengan keinginan pengguna/SNI (Standart Nasional Indonesia).

PERUBAHAN FISIOLOGIS PRODUK HORTIKULTURA SETELAH PANEN

Kalau produk hortikultura masih di pohon maka produk tersebut masih medapatkan pasokan / suplai apa saja yang diperlukan dari dalam tanah seperti air, udara serta unsur hara dan mineral-mineral yang diperlukan untuk sintesis maupun perombak tetapi kalau produk tersebut sudah lepas dengan tanamannya/dipanen maka pasokan tersebut sudah tidak terjadi lagi/tidak berlangsung lagi. Kegiatan sintesis yang utama dalam organ yang masih melekat pada tanaman adalah pada aktifitas proses fotosintesis tetapi kalau sudah lepas proses fotosintesis ini sudah tidak terjadi lagi, tetapi proses metabolisme tetap berlangsung baik sintesis maupun perombakan. Proses metabolisme pada buah-buahan maupun sayur-sayuran yang telah lepas dari pohonnya pada dasarnya adalah transpormasi metabolis pada bahan-bahan organis yang telah ada atau telah dibentuk selama bagian tersebut masih dalam pohon yang bersumber dari aktifitas proses fotosintesis. Selain itu juga terjadi pegurangan kadar air dari dalam produk hortikultura tersebut baik karena proses pengeluaran lewat permukaan produk maupun oleh proses metabolisme oksidatif termasuk proses respirasi dari produk yang tetap terus berlangsung.

RESPIRASI

Laju dari proses respirasi dalam produk hortikultura akan menentukan daya tahan dari produk tersebut baik buah-buahan maupun sayur-sayuran yang telah dipanen, sehingga sering dijumpai ada produk yang tahan disimpan lama setelah dipanen seperti pada biji-bijian, umbi-umbian tetapi banyak pula setelah produk tersebut dipanen tidak tahan lama untuk disimpan, seperti pada produk buah-buahan yang berdaging maupun produk hortikultura yang lunak-lunak seperti sayur-sayuran daun.

Agar proses metabolisme dalam suatu material hidup tersebut dapat belangsung terus maka diperlukan persediaan energi yang cukup atau terus menerus pula, dimana suplai energi tersebut diperoleh dari proses respirasi. Respirasi terjadi pada setiap makhluk hidup termasuk buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah dipanen, yang merupakan proses konversi exothermis dari energi potensial menjadi energi konetis.

Secara umum proses respirasi dalam produk dapat dibedakan menjadi tiga tingkat yaitu: pertama pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana; kedua oksidasi gula menjadi asam piruvat; serta yang ketiga adalah transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO , air, dan energi yang berlangsung secara aerobik. Masing-masing proses tersebut dapat dilihat kembali pada Fisiologi Tumbuhan apa namanya ? Substrat dalam proses respirasi tidak hanya berasal dari polisakarida dan asam-asam organis tetapi juga dapat dari protein maupun lemak walaupun dari kedua terakhir sebagai sumber energi kurang dominan, kalau kita lihat berbagai interaksi antara substrat dengan hasil-hasil antara respirasi dan antara hasil antara yang satu dengan lainnya.

PENGUKURAN RESPIRASI

Secara umum dapat dikatakan bahwa laju proses respirasi merupakan penanda atau sebagai ciri dari cepat tidaknya perubahan komposisi kimiawi dalam produk, dan hal tersebut behubungan dengan daya simpan produk hortikultura setelah panen.

Laju atau besar kecilnya respirasi yang terjadi dalam produk hortikultura dapat diukur karena seperti kita ketahui bahwa respirasi secara umum terjadi kalau ada oksigen dengan hasil dikeluakannya carbon doiksida dari produk yang mengalami respirasi maka respirasi dapat diketahui dengan mengukur atau menentukan jumlah substrat yang hilang, O2   yang diserap, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, serta energi yang ditimbulkannya. Respirasi juga menghasilkan air (H2O) tetapi dalam hal ini tidak diamati dalam prakteknya karena reaksi berlangsung dalam air sebagai medium, dan jumlah air yang dihasilkan reaksi yang sedikit tersebut “seperti setetes dalam air satu ember”. Energi yang dikeluarkan juga tidak ditenukan oleh karena berbagai bentuk energi yang dihasilkan tidak dapat diukur dengan hanya satu alat saja. Proses oksidasi biologis juga diikuti dengan terjadinya kenaikan suhu dan hal ini sebenarnya juga dapat dipergunakan sebagai penanda seberapa besar laju respirasi yang terjadi/bejalan. Tetapi karena antara keduanya tidak ada hubungan stoikiometrik maka perubahan suhu tidak dipergunakan sebagai penanda laju respirasi dalam produk hortikultura. Pengukuran kehilangan substrat, seperti yang terjadi adanya respirasi akan menyebabkan penurunan berat kering dari produk, tetapi ini mungkin sulit untuk dilakukan pengukuran karena adanya variasi dalam perubahan berat kering secara absolut; untuk itu diperlukan analisis kimia secara langsung.

Ternyata laju respirasi dari produk hortikultura yang telah dipanen mempunyai pola yang berbeda-beda dan dari variasi pola laju respirasi ersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk laju respirasi yaitu kelompok yang mempunyai pola laju respirasi yang teratur, dan kelompok lain kebanyakan produk hortikultura yang berdaging memperlihatkan penyimpangan dari pola respirasi yang terdahulu.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU RESPIRASI

Kecepatan respirasi dari suatu produk hortikultura ternyata tidak selalu tetap tetapi bervariasi, dan variasi tersebut dapat dsebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah:

a.   Faktor dalam

·        Tingkat Perkembangan,

·        Susunan Kimiawi Jaringan,

·        Besar-kecilnya Komoditas.,

·        Kulit Penutup Alamiah / Pelapis Alami.

·        Type / Jenis dari Jaringan.

b.   Faktor Luar.

Laju respirasi selain dipengaruhi oleh faktor dari dalam juga sangat dipengaruhi oleh faktor yang ada di luar produk tersebut dimana kedua faktor tesebut saling berineraksi apakah saling mendukung atau sebaliknya. Faktor-faktor dari luar tersebut adalah meliputi:

·        Suhu.

·        Konsentrasi 02 dan C02 .

·        Zat Pengatur Pertumbuhan.

Salah satu zat pengatur pertumbuhan yang mempunyai peranan dalam pematangan produk hortikultura adalah Ethylene.

·        Kerusakan Produk.

DAFTAR PUSTAKA

 

Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Alumni. Bandung.

Pantastico, E.B. 1975. Postharvest Phyisiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Conecticut.


BAB. VII

KERUSAKAN PADA PRODUK HORTIKULTURA


 

I.       PENDAHULUAN

Masalah penanganan produk hortikultura setelah dipanen (pasca panen) sampai saat ini masih mejadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius baik dikalangan petani, pedagang, maupun dikalangan konsumen sekalipun. Walau hasil yang diperoleh petani mencapai hasil yang maksimal tetapi apabila penanganan setelah dipanen tidak mendapat perhatian maka hasil tersebut segera akan mengalami penurunan mutu atau kualitasnya. Seperti diketahui bahwa produk hortikultura relatif tidak tahan disimpan lama dibandingkan dengan produk pertanian yang lain.

Hal tersebutlah yang menjadi perhatian kita semua, bagaimana agar produk hortikultura yang telah dengan susah payah diupayakan agar hasil yang dapat panen mencapai jumlah yang setinggi-tingginya dengan kualitas yang sebaik-baiknya dapat dipertahankan kesegarannya atau kualitasnya selama mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangatlah perlu diketahui terlebih dahulu tentang macam-macam penyebab kerusakan pada produk hortikultura tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya terhadap penyebab kerusakannya. Selanjutnya perlu pula diketahui bagaimana atau upaya-upaya apa saja yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan terjadinya kerusakan tersebut sehingga kalaupun tejadi kerusakan terjadinya sekecil mungkin.

II.    JENIS KERUSAKAN PADA PRODUK HORTIKULTURA

2.1.   Kehilangan Berat dan Kualitas

Secara umum produk hortikultura yang telah dipanen sebelum sampai ke konsumen atau dalam simpanan penyebab kerusakan yang utama adalah terjadinya kehilangan air dari produk tersebut. Kalau kehilangan air dari dalam produk yang telah dipanen  jumlahnya relatif masih kecil mungkin tidak akan menyebabkan kerugian atau dapat ditolelir, tetapi apabila kehilangan air tersebut jumlahnya banyak akan menyebabkan hasil panen yang diperoleh menjadi layu dan bahkan dapat menyebabkan produk hortikultura menjadi mengkerut.

2.2.   Mikroorganisme

Agar produk hortikultura tidak lekas layu maka dalam penyimpanannya diusahakan kelembaban lingkungan simpannya tinggi, tetapi kondisi kelembaban tinggi dipenyimpanan sering menyebabkan munculnya jamur pada permukaan produk hortikultura yang disimpan. Munculnya jamur pada permukaan produk hortikultura yang disimpan akan menyebabkan kenampakan produknya menjadi kurang menarik atau jelek sehingga akan menurunkan nilai kualitas dari produk tersebut.

Agar produk hortikultura yang disimpan tidak cepat mengalami proses kerusakan oleh mikroorganisme, diantaranya diupayakan dengan:

·        Menjaga kebersihan pada seluruh ruang penyimpanan

·        Menjaga sirkulasi uara pada ruang

·        Mengurangi terjadinya proses pegembunan pada produk yang dikemas

·        Mengurangi / menghindari menjalarnya perkembangan spora dari jamur.

·        Menggunakan bahan pencegah jamur, misalnya: dengan uap yang sangat panas selama kurang lebih dua (2) menit pada ruang simpan atau kalau sangat terpaksa dipergunakan bahan kimia seperti: Sodium Hypochlorit / trisodium Phosphat, larutan Calsium Hypochlorit.

III.       FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERUSAKAN PRODUK

3.1.   Relatif Humidity (Kelembaban Relatif)

Relatif humidity (RH) ruangan di mana produk hortikultura disimpan akan mempengaruhi kualitas produknya. Apabila RH ruang simpan produk hortikulura terlalu rendah maka akan menyebabkan produk hortikulura yang disimpan akan mengalami kelayuan dan pengkerutan yang lebih cepat. Tetapi sebaliknya apabila RH ruang simpan produk hortikultura terlalu tinggi  juga akan mempercepat proses kerusakan produk simpanan, karena akan memacu munculnya jamur-jamur pada produk simpanan. Pada RH mendekati 100 % akan memberikan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan jamur atau pertumbuhan jamur akan sangat hebat sehingga sampai pada bagian dinding ruang simpan juga bagian atapnyapun akan ditumbuhi jamur.

3.2.   Sirkulasi Udara

Pergeseran atau sikulasi udara diruang penyimpanan yang cepat selama proses precooling produk simpanan dimaksudkan untuk menghilangkan panas dari produk hortikultura yang dibawa dari lapang, setelah panas dari lapang tersebut dipindahkan maka selanjutnya kecepatan sirkulasi udaranya dikurangi. Di dalam ruang penyimpanan sirkulasi udara diperlukan  dengan tujuan agar panas yang terjadi selama berlangsungnya proses respirasi dari produk dapat diturunkan atau dihilangkan juga dengan maksud untuk menyeragamkan kondisi / suhu ruang simpan dari ujung satu dengan ujung yang lainnya.

3.3.   Respirasi

Produk hortikultura yang disimpan dalam bentuk segar baik itu sayur-sayuran ataupun buah-buahan proses yang terjadi dalam produk adalah respirasi. Dalam proses respirasi ini akan terjadi perombakan gula menjadi COdan air (H2O).

IV.        USAHA UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN PRODUK HORTIKULTURA DALAM SIMPANAN

4.1.   Sanitasi

Ruang penyimpanan produk hortikultura  perlu dipelihara dalam kondisi yang bersih dan sehat hal ini sangat penting dilakukan untuk menjaga agar produk hortikultura yang disimpan tetap dapat terjaga dalam kondisi segar. Ruang penyimpanan yang dijaga tetap dalam kondisi bersih dan sehat akan memperkecil serangan jamur dan organisme lainnya.

Dalam sanitasi sering dipergunakan senyawa kimiawi yang bersifat racun seperti insektisida, untuk penggunaannya perlu memperhatikan konsep keamanan pangan/HACCP.

4.2.   Refrigeration

Tujuan dari refrigerasi dalam ruang penyimpanan produk hortikultura terutama adalah untuk menekan aktivitas enzym respirasi, agar aktivitasnya menjadi serendah mungkin sehingga laju respirasinya sekecil/selambat mungkin produk hortikultura yang disimpan tetap terjaga kesegarannya.

4.3.   Pelilinan (Waxing)

Perlakuan dengan menggunakan lilin atau emulsi lilin buatan pada produk hortikultura yang mudah busuk yang disimpan telah banyak dilakukan. Maksud dari pelilinan pada produk yang disimpan ini terutama adalah untuk mengambat sirkulasi udara dan menghambat kelayuan (menjadi layunya produk simpanan), sehingga produk yang disimpan tidak cepat kehilangan berat karena adanya proses transpirasi.

4.4.   Irradiasi

Pengendalian proses pembusukan produk hortikultura yang disimpan serta perpanjangan umur simpannya baik itu produk buah-buahan maupun sayur-sayuran segar dapat dilakukan dengan perlakuan penyinaran dengan mempergunakan sinar  Gamma.

4.5.   Perlakuan Kimiawi dan Fumigasi

Perlakuan dengan menggunakan senyawa kimiawi telah banyak dipergunakan dalam usaha memperpanjang lama penyimpanan produk-produk pertanian termasuk produk hortikultura baik buah-buahan maupun sayur-sayuran, dan dapat dikatakan sebagai cara yang umum dilakukan atau biasa dilakukan. Yang harus diperhatikan dalam pemakaian senyawa kimia adalah penggunaan tetap menjaga keamanan pangan sehingga tidak memberikan dampak yang merugikan bagi keselamatan manusia mengingat produk hortikulura merupakan produk yang dikonsumsi dan sering dokonsumsi dalam bentuk mentah / bukan olahan.

4.6.   Pengemasan.

Upaya lain untuk memperpanjang waktu simpan produk hortikultura adalah dengan pewadahan / pengemasan yang baik. Dengan pewadahan ini diharapkan paling tidak dapat mengurangi terjadinya kerusakan karena terjadinya benturan sesama produk selama proses penyimpanan, selain juga dapat mengendalikan kelembaban dari produk sehingga produk dapat tetap segar.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Beveridge, T. H. J. (2003).Maturity and Quality Grades for Fruits and Vegetables”. In Handbook of Postharvest Technology, cereals, fuits, vegetables, tea and spices. Ed. A. Chakraverty, .. Mujumdar, G.S.V. Raghavan and H. S. Ramaswamy. Marcel Dekker, Inc. New York.

Pantastico, E.B. 1975. Postharvest Phyisiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Conecticut



Berilah komentar anda !